Jakarta, monitorkeadilan.com — Salah satu suara yang menggema dalam aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja adalah mosi tidak percaya terhadap pemerintah. Dapatkah?
Pemakzulan Presiden bukan tidak mungkin, namun harus melalui jalan panjang berliku. Sesuai UU MD3, pemakzulan harus melalui DPR RI dan melibatkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Melihat komposisi koalisi partai pendukung pemerintah, tampaknya pemakzulan sangat sulit dilakukan.
Dalam dialog dengan PRO-3 RRI, disarikan dari rri.co.id, Kamis (15/10), Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin menegaskan bahwa mosi tidak percaya tidak dapat langsung dari masyarakat umum. Mosi seperti itu merupakan hak DPR RI.
Mosi tidak percaya dapat mencuat melalui Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPR RI. UU MD3 pasal 79 ayat 4 mengatur, HMP harus diusulkan minimal 25 anggota DPR RI, berlanjut ke sidang paripurna.
Sidang dapat melahirkan Panitia Khusus (Pansus) berlanjut ke rapat paripurna DPR RI kembali, barulah melibatkan MK.
Setelah MK mengamini, DPR RI kembali gelar sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepada MPR RI untuk disidangkan secara paripurna.
Politisi PDI Perjuangan tersebut memaparkan, keputusan DPR RI sah jika sidang dihadiri 2/3 anggota dan disetujui 2/3 peserta yang hadir. Demikian pun MPR RI.
TB Hasanudin menjelaskan rangkaian mekanisme tersebut diatur Pasal 77 ayat 1 UU 27/2009, UU MD3 Pasal 79 ayat 4, Pasal 210 ayat 1 dan 3, Pasal 212 ayat 2, Pasal 213 ayat 1 dan Pasal 214 ayat 4, Pasal 215 ayat 1, dan Pasal 38 ayat 3.
Berdasarkan mekanisme cukup panjang, ditambah konfigurasi koalisi partai pendukung pemerintah, Hasanuddin menyebut mosi tidak percaya yang digaungkan massa pendemo seperti ungkapan ‘Jaka Sembung Naik Ojek, Enggak Nyambung Jek’.
Komentar