oleh

Isu Diskriminasi Papua Nyatanya Hoax, OAP Ikut Rumuskan Kebijakan Daerah

banner 468x60

Jakarta, monitorkeadilan.com — Banyak isu liar yang menyebut bahwa pemerintah melakukan diskriminasi terhadap Papua. Namun, hadirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua atau UU Otsus Papua merupakan bukti bahwa diskriminasi itu tidak benar adanya.

Otsus bagi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan Orang Asli Papua (OAP) untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas tersebut selaras dengan tanggung jawab yang lebih besar pula bagi provinsi dan OAP untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayahnya untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran OAP sebagai bagian dari rakyat Indonesia.

banner 336x280

Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian OAP, termasuk memberikan peran yang memadai bagi mereka melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan.

Adapun peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan OAP, dan melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua.

Setidaknya ada empat hal mendasar yang menjadi isi UU ini. Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan

Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar OAP serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar.

Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang bercirikan partisipasi rakyat sebesar-besarnya, pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar OAP, dan penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.

Terakhir, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural OAP yang diberikan kewenangan tertentu.

Oleh karenanya bisa dipastikan tidak ada diskriminasi terhadap Papua oleh pemerintah. Pemberian otsus dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, serta peningkatan kesejahteraan dan kemajuan OAP dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain.

Di samping itu, UU ini juga menempatkan OAP pada khususnya dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama. Keberadaan pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat.

Sebut saja Pasal 12, misalnya, yang menegaskan bahwa salah satu syarat wajib yang harus dipenuhi untuk mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur di Papua adalah merupakan OAP.

Kemudian Pasal 19 yang mengamanatkan MRP beranggotakan OAP yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP.

Ada lagi Pasal 62. Pada ayat (2) pasal tersebut menyatakan OAP berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya.

Bahkan, lebih lanjut ditegaskan pada ayat (3) bahwa dalam hal mendapatkan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di bidang peradilan, OAP berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi hakim atau jaksa.

Belum lagi adanya dana otsus yang terus digelontorkan pemerintah untuk Papua. Tahun ini saja, pemerintah menganggarkan dana otsus untuk Provinsi Papua sebesar Rp5,86 triliun dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp2,51 triliun.

Sementara, jika dihitung sejak awal UU Otsus Papua berlaku pada 2001, total dana yang sudah dicairkan pemerintah untuk Papua dan Papua Barat sebesar Rp 126,99 triliun. Rinciannya, dana otsus yang diterima oleh Provinsi Papua sebesar Rp93,05 triliun sejak 2002 dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp33,94 triliun sejak 2009.

Pun UU ini mengandung semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan di Papua dalam kerangka NKRI.

Itu semua mengemuka dalam webinar yang digelar GPR TV Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Badan Intelijen Negara (BIN), bertema “Menakar Masa Depan Papua”, beberapa waktu lalu.

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan