Jakarta, monitorkeadilan.com — Pencabutan asimilasi terhadap Habib Bahar bin Smith patut dipertanyakan. Sebagaimana diketahui, Ditjen Pemasyarakatan menyatakan bahwa dicabutnya asimilasi menunjuk pada dua alasan. Pertama, melakukan tindakan yang dianggap telah menimbulkan keresahan di masyarakat. Kegiatan dimaksud, berupa ceramah bernada provokatif, menyebarkan rasa permusuhan dan kebencian kepada pemerintah. Video ceramah yang kemudian viral, disebutkan menimbulkan keresahan di masyarakat. Kedua, melanggar aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan mengumpulkan orang banyak dalam kegiatan ceramahnya.
Terhadap kedua alasan di atas, maka dipandang perlu untuk ditanggapi dengan mendasarkan pada dalil-dalil hukum positif, agar menjadi perhatian. Pada yang tersebut pertama, alasan yang menimbulkan keresahan di masyarakat adalah sangat bias. Keresahan yang bagaimana yang dimaksudkan dalam hukum positif? Hukum pidana tidak ada menjadikan keresahan di masyarakat sebagai unsur delik. Di sisi lain, justru banyak sekali kebijakan/regulasi pemerintah di masa pandemi Covid-19 yang telah membuat resah dan gelisah masyarakat. Sebutlah antara lain, baru-baru ini acara konser musik yang digelar BPIP dan MPR, walaupun tujuannya baik untuk amal korban Covid-19, namun tidak memperhatikan protokol kesehatan. Kondisi demikian, tidak mengindahkan anjuran pemerintah sendiri, jelas suatu ironi. Terlebih lagi, dilakukan di bulan suci Ramadhan, seharusnya yang dilakukan secara virtual adalah berdoa bermunajat kepada Allah SWT.
Pada yang tersebut kedua, menyangkut pelanggaran PSBB terkait dengan kehadirannya memberikan ceramah, juga tidak ada sanksi hukum yang mengaturnya. Pembatasan kegiatan di luar rumah dalam konteks PSBB sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 sama sekali tidak mengandung norma hukum larangan terhadap apa yang menjadi alasan pencabutan asimilasi.
Dengan demikian, alasan hukum pencabutan asimilasi yang berdasarkan ketentuan Pasal 136 ayat 2 huruf e Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyara Sebagaimana Telah Diubah Dengan Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 tidak memiliki kekuatan hukum. Memberlakukan kebijakan tanpa dasar ketentuan hukum yang jelas, merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Dapat dikatakan telah terjadi perampasan hak asasi terhadap diri Habib Bahar sebagai warga negara.
Sepertinya, pencabutan asimilasi ini tidak berdiri sendiri. Diduga kuat adanya pengaruh (intervensi) kekuasaan. Hal ini semakin mendalilkan bahwa Indonesia sebagai negara hukum tidak berlaku secara empirik, kita sudah menjadi negara kekuasaan. Kondisi ini bukan hanya terjadi dan dialami oleh Habib Bahar, namun juga berlaku kepada para tokoh ummat dan aktivis yang dianggap sebagai lawan politik oleh rezim.
Jakarta, 20 Mei 2020.
Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Direktur HRS Center & Ahli Hukum Pidana)
Komentar