Jakarta, monitorkeadilan.com — Amnesty International Indonesia (AII) meminta pelepasan 13 aktivis Separatis Republik Maluku Selatan (RMS) yang ditahan terkait peringatan hari ulang tahun kelompok separatis itu. Selain tak tepat dilakukan di masa pandemi Virus Corona, hal itu disebut sebagai pengekangan kebebasan berekpresi.
“Hingga Sabtu, 25 April 2020, Polda Maluku telah menangkap dan menahan 13 warga yang merupakan aktivis gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) karena mengibarkan bendera Benang Raja untuk memperingati hari ulang tahun gerakan RMS,” kata Direktur AII Usman Hamid, dalam siaran persnya, Senin (27/4).
“Penangkapan dan penahanan aktivis RMS karena pengibaran bendera adalah tindakan semena-mena dan pelanggaran HAM,” imbuhnya.
Pasalnya, setiap individu tanpa terkecuali berhak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai. Hak tersebut dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR).
“Kegiatan damai tersebut merupakan bagian dari hak untuk berkumpul dan berekspresi. Kami mendesak pembebasan segera dan tanpa syarat baik yang ditangkap maupun yang menyerahkan diri,” kata Usman.
Selain itu, lanjutnya, penahanan tersebut tak sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mengurangi jumlah tahanan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan demi mengurangi risiko penularan Covid-19.
“Penahanan itu inkonsisten dengan kebijakan pemerintah mengurangi jumlah narapidana dan tahanan demi mencegah Covid-19 di penjara,” ucap dia.
“Negara harus memakai pola pendekatan edukatif dan persuasif sehingga hukum terasa adil bagi masyarakat,” ia menambahkan.
Usman mengatakan peringatan HUT RMS lewat pengibaran bendera ‘Benang Raja’ ini memang digelar tiap tahun. Namun, katanya, itu tak selalu berarti separatismua. Bagi sebagian, katanya, hanya bagian dari tradisi. Sebagian lainnya menganggap itu aksi protes politik.
“Pengibaran bendera itu mungkin juga merupakan cara simbolik dalam mengemukakan keluhan atas ketidakseriusan pemerintah pusat dalam melayani kebutuhan ekonomi dan sosial di wilayah yang terisolasi itu,” tuturnya.
“Namun, sejauh dilakukan secara damai, negara wajib melindunginya,” kata Usman.
Menurut dia, negara kerap keliru karena menilai ekspresi ini sebagai gerakan separatisme dan dihadapi dengan pasal-pasal makar.
“Ini keliru dan telah ditinggalkan pada era Pemerintahan Habibie dan Gus Dur. Ini waktunya Pemerintah dan DPR menghapus atau mengubah peraturan terkait makar yang kerap berujung pada pelanggaran hak asasi manusia,” kata Usman.
Dihubungi terpisah, Polda Maluku mengonfirmasi telah menangkap tiga pimpinan Front Kedaulatan Maluku (FKM) yang berafiliasi dengan RMS. Merea adalah Simon Viktor Taihittu (juru bicara), Abner Litamahuputty (ketua perwakilan tanah air FKM/RMS), serta Johanis Pattiasina (sekertaris perwakilan tanah air FKM/RMS).
Mereka dijerat dengan Pasal 106 KUHP dan Pasal 110 KUHP tentang makar dan Pasal 160 KUHP tentang menghasut. Sedangkan para pengibar bendera RMS lainnya dikenakan Pasal 106 KUHP dan Pasal 110 KUHP tentang makar.
“Bertempat di Mapolda Maluku telah datang dan diamankan tiga orang petinggi RMS,” kata Kabid Humas Polda Maluku Kombes Roem Ohoirat dalam keterangannya, Senin (27/4).
Sebelumnya, tiga orang itu datang sendiri ke Mapolda Maluku sambil mengenakan bendera Benang Raja, Sabtu (25/4).
Ketiga orang itu, katanya, termasuk dari 11 orang simpatisan RMS yang dipanggil untuk diminta klarifikasinya.
Selain itu, lanjut Roem, pada 21 April 11 orang simpatisan RMS yang ada di Desa Hulaliu, Kecamatan P. Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, menyerahkan bendera RMS dan mengakui NKRI.
(MK/Hukum)
Komentar