Jakarta, monitorkeadilan.com — Gelombang kritik atas upaya penguasa untuk “membungkam” suara-suara kritis masyarakat semakin deras. Para aktivis dan tokoh pro-demokrasi angkat suara.
Salah satu yang menentang keras adalah paktisi hukum senior Dahlan Pido, SH., MH. Pengalamannya malang melintang dalam dunia hukum nasional sudah tidak perlu diragukan lagi. Itu sebabnya, pemikiran dan opininya menjadi layak untuk dipelajari agar masyarakat di Indonesia dapat meningkatkan level kematangan berdemokrasinya, terutama ditinjau dari perspektif hukum.
Oleh: Dahlan Pido, SH., MH. (Praktisi Hukum/ Advokat)
Reformasi Indonesia sudah berjalan selama 21 (dua puluh satu) tahun, namun tidak merubah hal-hal yang mendasar buat Rakyat / Masyarakat, terutama di bidang hukum. Masih ada ketentuan hukum yang bisa menjerat secara represi terhadap gerak-gerik kebebasan rakyat.
Padahal di tahun 1998 denganKetetapan MPR No. VII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menjadi pondasi jaminan kebebasan berekspresi di Indonesia. Ketetapan MPR ini mengoreksi cara pikir lama yang melakukan pelanggaran hak-hak kebebasan.
Bahwa ujaran kebencian (hate speech) yang meliputi penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong (hoax). Syaratnya harus jelas dan pasti ada yang dirugikan, baik itu seseorang atau korporasi (ada obyek dan subyek), yang dapat menimbulkan kebencian, permusuhan, dan mengakibatkan ketidakharmonisan di tengahmasyarakat.
Terkait Penghinaan Presiden ini, telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI dalam No. 013-022/PUU-IV/2006. Namun anehnya dalam Revisi KUHPidana, norma tersebut dimasukan kembali dalam Pasal 238 oleh DPR-RI plus Pemerintah yang pertimbangannya memasukkan kembali norma yang sudah dibatalkan oleh MK, ini tentu bertentangan dengan putusan MK sebagai Lembaga Hukum Tertinggi yang menguji suatu UU yang digugat/diuji Masyarakat Sipil karena dalam prakteknya tidak mengandung rasa keadilan masyarakat.
DPR RI plus Pemerinta sebagai pembentuk UU seharusnya tidak memasukkan pasal yang sudah dibatalkan oleh MK lantaran sudah tidak relevan, ini dapat memicu kembali Masyarakat Sipil untuk melakukan gugatan/uji materi kembali, dan ketika proses gugatan berulang akan terjadi krisis kontitusi, karena kalau ada putusan MK yang sudah dibatalkan dan hidup lagi, dibatalkan lagi, ini seperti negara yang baru lahir, aturannya main-main yang ujungnya tidak efektif.
Sudah tegas dalam putusan MK, dalam penyempurnaan KUHPidana, tidak boleh membuat pasal atau UU yang serupa (sudah dibatalkan). Pasal terkait penghinaan Presiden yang dinyatakan tidak berkekuatan hukum lagi oleh Mahkamah Konstitusi RI pada tahun 2006, bunyi pasal-pasal tersebut adalah, Pasal 134, “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun, selanjutnya Pasal 136 bis, “Perkataan penghinaan dengan sengaja dalam Pasal 134 mengandung juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 315, jika itu dilakukan kalau yang dihinakan tak hadir, yaitu baik di muka umum dengan beberapa perbuatan, maupun tidak di muka umum, tetapi di hadapan lebih dari 4 (empat) orang atau di hadapan orang lain, yang hadir dengan tidak kemauannya dan yang merasa tersentuh hatinya, akan itu, dengan perbuatan-perbuatan, atau dengan lisan atau dengan tulisan”, sedangkan Pasal 137, (1) “Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya menghina Presiden atau Wakil Presiden dengan niat supaya isinya yang menghina itu diketahui oleh orang banyak atau diketahui oleh orang banyak, dihukum penjara selama-lamanya 1.4 (satu tahun empat bulan).
Dalam putusannya, MK menilai bahwa martabat Presiden dan Wakil berhak dihormati secara protokoler, namun bukan berarti mendapat keistimewaan tertentu, tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkanny amemperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Hal lain karenaPasal-pasal ini dinilai merupakan produk jaman Kolonial, yang tidak relevan lagi dengan sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia, karena akan menghambat proses demokrasi dan mengancam kebebasan berekspresi.
Kaitan dengan itu, aneh muncul perintah Kapolri Jenderal Pol. Idham Aziz kepada jajarannya untuk menindak tegas siapa saja yang melakukan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo dan pejabat pemerintah dalam mengatasi pendemi virus Covid-19, yang tertuang dalam surat telegram bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020, dan ditandatangani oleh Kabareskrim Polri Komjen Pol.Listyo Sigit Prabowo tanggal 4 April 2020, ini terlalu subyektif dan prematur dalam pelaksanaannya nanti.
Padahal Polri pernah menerbitkan Surat Edaran Kapolri No. 6 tahun 2015 yang mewajibkan personel Korps Bhayangkara mengedepankan langkah preventif sebelum melakukan penegakan hukum, sehingga penegakan hukum yang menjadi kewenangan Polri itu tidak melanggar prinsip due process of law, yakni harus jelas dan benar dasar aturan serta prosedurnya.
Polri harus memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan bagi masyarakat, tidak boleh melakukan intimidasi dan menciptakan keresahan di masyarakat, biarlah penegakan hukum berjalan sesuai aturan yang berlaku, tidak perlu dibumbui dengan hal-hal yang tidak relevan. Delik penghinaan terhadap Presiden/Wakil dan Pejabat Negara memiliki potensi multitafsir, dan delik ini pun telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK) karena bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi, seperti yang telah diuraikan di atas oleh penulis.
Jangan hanya karena seseorang dalam negara Hukum dan Demokrasi seperti Indonesia, kritik yang kritis dari rakyat untuk kepentingan umum dianggap penghinaan terhadap Presiden dan Pejabat Negara mendapat ancaman Pidana (sangat subyektif) karena sejumlah hal, padahal rakyat mengkritisi karena:
Pertama, Demokrasi membutuhkan rakyatnya bersedia berbicara terbuka di hadapan para pemimpinnya, bukan karena dasar kebencian atau ketidaksukaan, tapi itu harus dipahami sebagai bagian dari kebebasan berpendapat.
Kedua, penghinaan dapat ditafsirkan sangat luas padahal yang dilakukan masyarakat adalah ekspresi tentang kinerja pemerintah, yang dilarang adalah penyiaran kebohongan atau hoax.
Ketiga, merujuk pada pengalaman yang ada, ada cukup bukti bahwa hukum berpotensi dimanipulasi, misalnya, pasal pencemaran nama baik yang termuat dalam UU ITE digunakan untuk memberangus hak warga untuk bicara secara kritis, seperti kasus Asma Dewi, Ahmad Dhani dan lain-lain (kami salah satu kuasa hukumnya), yang sempat masuk penjara karena hanya mengeritik perlakuan terhadap Pemerintah, ini adalah bukti kuat bagaimana sebuah pasal hukum yang semula nampak wajar dapat dimanipulasi dengan cara sedemikian rupa oleh mereka yang memiliki kekuasaan (kekuasaan politik dan ekonomi) untuk menindas rakyat.
Hukum di Indonesia dapat dimanfaatkan dan dibelokkan oleh mereka yang berkuasa untuk kepentingannya, karena itu cara terbaik untuk mencegah kejahatan kekuasaan ini adalah dengan tidak membiarkan hadirnya Pasal-pasal yang dapat dimanipulasi oleh penguasa.
Apabila pasal pencemaran nama baik saja bisa dimanipulasi, apalagi pasal penghinaan Presiden yang penafsirannya bisa lebih melebar.
Keempat, seorang Presiden dalam masyarakat Demokratis seharusnya tidak berkuping tipis berhadapan dengan rakyatnya yang bersuara kritis, karena dalam Demokrasi seorang Presiden bukanlah raja, titisan Dewa sebagai manusia suci. Presiden adalah warga yang dipilih secara kolektif untuk memimpin bangsa, sehingga penghinaan terhadap Presiden sebaiknya dipandang sebagai hal biasa-biasa saja, namun jika UU ini kembali diubah, maka Pemerintah dan DPR telah melakukan hal yang mundur ke dunia gelap seperti masa lalu.
Kelima, warga masyarakat pada dasarnya tidak pasif dan tidak bodoh, bila Presidennya dihina sementara dia bekerja secara benar, mereka justru akan menganggap yang menghina sebagai kalangan yang bodoh.
Keenam, penghinaan pada Presiden pada dasarnya adalah semacam bentuk kontrol sosial yang akan membuat pemimpin bersikap hati-hati dan untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat, karen alangkah-langkahnya akan terus diawasi oleh rakyatnya.
Ketujuh, melawan suara kritis, keras, tajam, menyakitkan dari rakyatnya dengan ancaman hukuman pidana terkesan kekanak-kanakan. Pemerintah nampak takut dengan menggunakan tameng hukum untuk melawan rakyatnya. Pemerintah perlu belajar dari pengalaman Presiden ketiga alm. BJ. Habibie, alm. Gus Dur dan SBY yang habis-habisan dikritik / dihina tapi membalasnya dengan cara elegan, sehingga mereka Presiden yang dikenang sebagai negarawan sesungguhnya.
Kedelapan, dengan menghidupkan pasal pelarangan penghinaan terhadap Presiden hanya merusak reputasi Jokowi yang naik ke tampuk kekuasaan, dengan harapan Demokrasi lebih maju dan itu adalah pilihan terbaik bagi Indonesia.
Menghidupkan kembali pasal penghinaan Pemerintah dan DPR, bukan solusi yang baik karena membahayakan negara Hukum dan Demokrasi Indonesia, namun prioritas utama adalah kesejahteraan rakyat Indonesia, dan itu hanya bisa dicapai bila Indonesia memiliki Pemerintahan yang bersih, tidak korup dan bisa dikontrol oleh rakyatnya.
Perihal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tak semua menjadi urusan negara, karena pada Pasal 310 KUHP, dijelaskan ada beberapa kategori penghinaan yang berbeda. Misalnya, Pasal 310 KUHP ayat (3), menjelaskan bahwa tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan itu jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri, sementara UU ITE tak menjelaskan apa pun terkait pasal-pasal pencemaran nama baik tersebut. Hal ini tidak hanya terjadi pada Pasal 27 ayat (3), namun juga pada Pasal 28 ayat (2) soal rasa kebencian yang terlalu luas definisinya, sertaPasal 29 soal ancaman kekerasan dan menakut-nakuti yang pengertiannya sangat subyektif.
Dilema Hukumnya
Beberapa pasal sisipan tersebut sebetulnya sudah ada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga posisinya menjadi mubazir karena ada aturan yang lahir sebelumnya dan bahkan lebih rinci. Ketentuan di UU ITE dan KUHP memiliki hukuman yang berbeda, pasal kriminalisasi di UU ITE pada Pasal 45, tindak pelanggaran kesusilaan, pencemaran nama baik, dan pengancaman/pemerasan mendapatkan ancaman 6 tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar, sedangkan ancaman hukuman di KUHP paling lama 1 tahun 4 bulan, sementara menurut KUHAP, apabila seseorang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun, ia harus ditahan saat melakukan proses persidangan.
UU ITE awalnya bertujuan untuk memberi payung hukum dan perlindungan segenap stakeholder internet, tetapi terasa menjadi alat balas dendam orang-orang kuat terhadap pihak-pihak yang tak mereka senangi. Hal ini terjadi karena adanya pasal-pasal karet, seperti dalam pasal 27, 28, 30, dan 36, yang memuat pasal-pasal kriminalisasi yang tak ayal menjadi bahan penyalahgunaan hukum oleh orang-orang berkuasa, minimal oleh mereka mempunyai kekuasaan dan ekonomi yang sangat baik.
Penghinaan Merupakan Delik Aduan
Orang yang dirugikan jika mau lapor pakai ketentuan UU ITE, harus datang sendiri ke Kepolisian, yang kemudian Kepolisian bergerak sesuai prosedur yang ada, misalnya menggunakan Pasal 27 ayat 3, dan proses hukum berbasis UU ITE membutuhkan dana yang tidak sedikit, seperti ada proses forensik digital, memanggil saksi fakta, saksi ahli pidana, IT, bahasa dan lain yang terkait. Pada akhirnya, UU ITE (kemungkinan) hanya bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki status ekonomi dan sosial politik yang tinggi, dan itu berdampak pada ketidakadila ndalam masyarakat, sekian.
Salam penulis
Komentar