Jakarta, monitorkeadilan.com — Pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah memutuskan pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur. Namun, hanya dengan memutuskan seperti itu, dasarnya tidak kuat, karena masih bisa dibatalkan. Oleh karena itu, keputusan itu harus perlu dilindungi oleh payung hukum konstitusi yang dijabarkan dalam Tap MPR RI.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah dalam media visit ke PT Trans Digital Media, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Basarah menjelaskan, UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tidak memberikan satu kepastian kontinuitas pembangunan nasional. Sebab, basis pembangunan yang tertuang dalam UU Nomor 25/2004 adalah visi, misi, dan program setiap calon presiden. Sehingga, ketika mereka terpilih, visi dan misi itu menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan payung hukum berupa peraturan presiden (perpres).
Ia lantas mencontohkan keputusan Jokowi memindahkan ibu kota dari DKI Jakarta ke Kaltim. Seperti diketahui, lokasi ibu kota negara berada di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Secara resmi, Jokowi sudah menyampaikan rencana itu saat menyampaikan pidato pelantikan dalam Sidang Paripurna MPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 20 Oktober 2019.
“Kalau Jokowi berhenti dan pembangunan pemindahan ibu kota itu belum selesai kemudian berganti partai (partai politik asal presiden), muncul ego sektoral. Ngapain saya melanjutkan legasinya PDIP. Begitu presiden berikutnya tidak melanjutkan, triliunan anggaran negara akan musnah,” ujar Basarah yang juga politikus PDIP tersebut.
Contoh lain yang disinggung Basarah adalah megaproyek kompleks Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang. Itu merupakan program utama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kini mangkrak lantaran kasus dugaan korupsi dalam pembangunan kompleks tersebut.
“Kita gak tahu nanti presiden terpilih mau bikin apa. Tiba-tiba Pak Jokowi memindakan ibu kota kita kaget-kaget karena di visi misinya tidak ada. Apakah itu dilarang? Tidak. Karena UU SPPN tidak melarang itu. Oleh karena itu, kita harus punya perencanaan pembangunan yang jelas, maka payung hukum pembangunan nasional jangka menengah dan jangka panjang itu dituangkan dalam satu payung hukum konstitusi dijabarkan dalam satu ketetapan MPR sehingga mengikat,” ujar Basarah.
“Sehingga ke depan, siapapun capres, gubernur, bupati dan wali kota, boleh mengajukan visi misi varian pembangunan, tapi road map pembangunan nasional, hal-hal fundamental ini tidak boleh mereka ganti seenaknya. Ini yang menjadi pokok-pokok pikiran kami,” lanjutnya.
Hal senada disampaikan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Menurut dia, pemindahan ibu kota yang digagas oleh Jokowi bukan tidak mungkin digagalkan oleh siapapun yang kelak terpilih sebagai presiden. Oleh karena itu, lanjut Bambang, program-program unggulan itu perlu dituangkan dalam Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
“Sebetulnya PPHN tidak detail, tidak memasung kreativitas presiden lewat visi misinya. Kita bisa belajar dari rencana jangka panjang China, Singapura, kita bisa pelajari di situ. Nggak detail tapi jelas target-targetnya. Pembangunan ekonomi, kebijakannya bagaimana, hukumnya, sumber daya manusianya dan seterusnya. Intinya kita menawarkan kepada kita semua bahwa kita perlu peta jalan atau arah bintang yang jelas bagi bangsa ini agar tidak menari poco-poco terus,” kata Bamsoet sapaan akrab Bambang Soesatyo itu.
(MK/Nasional)
Komentar