Jakarta, monitorkeadilan.com — Oknum pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sorong membantah menyebut Perpres 84/2018 sebagai regulasi yang berhubungan dengan perubahan fungsi lahan hutan produktif.
“Perpres 86/2018 bos,” kata Rizky Wahyudhi melalui aplikasi WhatsApp, Jumat (7/2) siang.
Diberitakan salah satu media online di Sorong, kuasa hukum Rizky yakni Muhammad Iqbal Muhiddin SH, mengatakan bahwa pemerintah mengubah status hutan produktif menggunakan Perpres 84/2018. Berita itu ditulis berdasarkan ungkapan Iqbal dalam suatu jumpa pers terkait kabar oknum pegawai BPN diduga menipu pengusaha perumahan.
Rizky layak mengoreksi penyebutan Perpres, karena Peraturan Presiden Nomor 84 Tahun 2018 tidak mengatur alih fungsi kawasan hutan produktif, tetapi mengatur tunjangan jabatan pejabat tertentu di lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan. Sedangkan Perpres 86/2018 yang disebut Rizky, mengatur tentang Reforma Agraria.
Media online Sorong yang memberitakan tentang jumpa pers kasus dugaan penipuan pada Minggu (2/2), pun telah melakukan ralat.
“Ralat: Telah terjadi penulisan berita pada paragraf 5 : Perpres nomor 84 tahun 2018. Yang benar adalah : Perpres nomor 86 tahun 2018,” dikutip dari teropongnews.com, Jumat (7/2).
Sayangnya media itu tidak memperbaiki keseluruhan berita. Padahal terjadi kesimpangsiuran yang dapat menimbulkan dugaan tertentu.
Paragraf keempat tulisan Mega Wati berjudul “Gagal 86 Berita, Oknum Pimpinan Media Nekat Terbitkan Berita Hoax” itu tertulis Muhammad Iqbal Muhiddin SH mengatakan saat Rizky Wahyudhi menjanjikan dapat membuatkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) untuk pengusaha Ricky lahan di Jalan Suteja Sorong belum masuk kawasan hutan produktif.
Kementerian Lingkungan Hidup menetapkan lahan tersebut masuk kawasan hutan produktif saat sertifikat sedang diurus.
Namun paragraf ketujuh menyebut sebaliknya. “Iqbal menceritakan, permasalahan yang dialami oleh kliennya berawal dari penjualan tanah yang dilakukan oleh Agus kepada Riki selaku pimpinan PT. Anugrah Land pada tahun 2016. Tanah yang terletak di jalan Suteja KM.12 dengan ukuran 1 hektar itu ternyata masih dalam kawasan hutan produktif,” dikutip utuh dari teropongnews.com tulisan Mega Wati pada Minggu 2 Februari 2020.
Sementara paragraf kedelapan tertulis, “Oleh karena itu, Riki selaku pihak pertama meminta bantuan Rizki untuk mengurus sertifikat tanah. Karena pada saat itu tanah tersebut masih dalam kawasan hutan produktif, Rizki banyak mengalami kendala dalam pengurusan sertifikat serta memakan waktu yang cukup lama,” juga dikutip utuh dari teropongnews.com pada berita yang sama.
Mengarang alasan
Menanggapi kesimpangsiuran informasi itu, pengacara Asep Sunanjar SH menggeleng-gelengkan kepala. “Saya khawatir kesimpangsiuran terjadi karena sang kuasa hukum dan kliennya terlalu memaksakan diri sehingga terkesan mengarang-ngarang alasan,” katanya di Jakarta, Jumat (7/2).
“Tapi ini perlu ditelisik lebih jauh apakah kesalahan dilakukan penulisnya ataukah bukan,” sambung Asep.
Kesan serupa diungkap pengacara Agus Fluoreze. Menurutnya kesimpangsiuran informasi pada paragraf-paragraf itu dapat menimbulkan kecurigaan. Meski begitu dia juga sepakat perlu dilakukan pengecekan terlebih dahulu.
“Karena jangan-jangan penulis salah kutip,” kata pengacara yang berkantor di kawasan mentereng Jakarta itu.
Menurutnya tidak patut kuasa hukum oknum pejabat BPN Sorong mengarang-ngarang alasan. “Karena kalau masalah ini diproses hukum maka dia harus pertanggungjawabkan ucapan,” tutup Agus.
Komentar