oleh

Indonesia Tunjukkan Kelemahan Hadapi China dengan Pilih Diplomasi Damai Soal Natuna

banner 468x60

Jakarta, monitorkeadilan.com — Ketika kedaulatan Indonesia dilanggar oleh negara lain, yaitu China, pemerintah Indonesia memiliki dua pilihan, respon keras dan lunak (damai). Ternyata pemerintah memilih untuk menggunakan diplomasi damai, bagaimana implikasinya ?

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan langkah diplomasi damai yang disampaikan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, dalam sengketa perairan di Natuna dengan China justru memperlihatkan kelemahan Indonesia.

banner 336x280

Menurut dia diplomasi damai yang disampaikan oleh Prabowo dan Luhut tersebut tak jelas maksudnya, karena idealnya tak ada lagi perundingan terkait Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna.

“Pernyataan diplomasi damai itu justru menunjukkan kelemahan dan kegamangan otoritas kita. Idealnya, sudah tak ada lagi perundingan apapun terkait ZEE ini. Lantas diplomasi damai yang dimaksud itu seperti apa? Apa yang hendak dinegosiasikan?,” kata Khairul, Sabtu (4/1).

Khairul mengatakan China mengklaim Laut China Selatan adalah wilayah tradisional penangkapan ikan nelayannya berdasarkan Sembilan Garis Imajiner (9 dash line). Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sendiri telah ditetapkan oleh hukum internasional melalui UNCLOS 1982.

Sesuai UNCLOS 1982, negara pantai punya hak berdaulat (sovereign right) atas pengelolaan sumber daya alam di laut, yang disebut ZEE. China merupakan salah satu bagian dari UNCLOS (United Nations Convetion on the Law of the Sea) 1982, maka China wajib menghormati implementasi UNCLOS 1982.

“Tapi wilayah itu bukanlah laut teritorial yang berada di bawah kedaulatan negara. Nah, insiden-insiden belakangan ini terjadi di ZEE Indonesia,” ujar Khairul.

Khairul mengatakan aktivitas patroli dan penjagaan wajib dilakukan. Akan tetapi, patroli tidak cukup untuk menangani peningkatan intensitas provokasi China.

Bagi Khairul, Indonesia harus memiliki protokol yang jelas terkait langkah yang harus dilakukan apabila kedua armada saling berhadapan. Sementara prinsip patroli perbatasan adalah mengadang dan menghalau.

“Bagaimana jika pengadangan dan upaya penghalauan telah dilakukan namun tak bergeming? Sementara tak mudah juga bagi pemerintah kita untuk memutuskan langkah yang lebih tegas dengan memulai serangan,” ujar Khairul.

Kisruh China dan Indonesia di perairan dekat Natuna terjadi setelah puluhan kapal ikan Tiongkok dengan dikawal kapal perang fregat memasuki wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia sejak Desember. Kemunculan kapal-kapal Tiongkok itu terdeteksi Badan Keamanan Laut RI (Bakamla) sejak 10 Desember 2019.

(MK/Politik)

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *