Jakarta, monitorkeadilan.com — Bocornya dana desa diungkap oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu bahwa sumber kebocoran terjadi karena adanya desa-desa fiktif, kemudian ditindaklanjuti.
Terbaru, Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara menemukan indikasi sejumlah desa fiktif atau siluman di Nias Barat. Desa-desa tersebut menerima kucuran dana desa setiap tahunnya.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar mengatakan setidaknya ada tiga desa di Nias Barat yang diduga tidak berpenghuni tapi tetap menerima dana desa. Ketiga desa dimaksud, yakni Desa Kafokafo, Desa Pulau Bogi, dan Desa Imana.
“Ya, dalam empat hari terakhir, kita terus menerima informasi dari masyarakat Nias Barat tentang beberapa desa yang tidak berpenghuni tapi menerima dana desa,” kata Abyadi Siregar, Selasa (12/11).
Menurut laporan yang diterima Ombudsman RI Perwakilan Sumut, ketiga desa ini sama sekali tidak berpenghuni. Namun tiap tahunnya menerima dana desa.
“Meski tidak berpenghuni, tapi sama seperti Desa Kafokafo, maka Desa Pulau Bogi dan Desa Imana selama ini menerima kucuran dana desa yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah setiap tahun,” jelas Abyadi Siregar.
Di samping itu, ada juga beberapa desa yang penduduknya sangat sedikit tapi menerima kucuran dana desa ratusan juta rupiah. Misalnya, Desa Simene’eto yang dihuni oleh sekitar 1 KK, Desa Lahawa yang dihuni tidak lebih dari 10 KK, Desa Hanefa yang dihuni tidak lebih dari 13 KK. Kemudian, Desa Tuwatuwa yang dihuni tidak lebih dari 5 KK dan Desa Bawosalo’o yang dihuni tidak lebih dari 10 KK.
Meski jumlah penduduk yang menghuni desa itu sangat sedikit, tapi tetap menerima kucuran dana desa ratusan juta rupiah setiap tahun,” paparnya.
Menurutnya kucuran dana desa itu terlihat dalam Peraturan Bupati (Perbub) Nias Barat No 17 tahun 2017 tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan Besaran Dana Desa Setiap Desa di Kabupaten Nias Barat TA 2017.
Dalam Perbub itu, untuk tahun anggaran 2017 Desa Kafokafo menerima dana desa sebesar Rp755.023.688, Desa Pulau Bogi sebesar Rp756.821.710, dan Desa Imana memperoleh sebesar Rp757.922.632.
“Padahal, ketiga desa ini, sama sekali tidak berpenghuni,” ujar dia.
Sedangkan Desa Sinene’eto yang dihuni sekitar 1 KK pada 2017 memperoleh dana desa sebesar Rp755.919.518, Desa Lahawa yang dihuni tidak lebih 10 KK memperoleh dana desa sebesar Rp752.855.251, Desa Hanofa yang dihuni tidak lebih dari 13 KK memperoleh dana desa sebesar Rp771.317.578, Desa Tuwatuwa yang dihuni tidak lebih dari 5 KK memperoleh dana desa Rp 812.534.649, dan Desa Bawasolo’o yang dihuni sekitar 10 KK meraih dana desa Rp 787.366.873.
“Ini baru tahun 2017. Tahun 2018 dan 2019 desa-desa itu juga masih mendapatkan kucuran dana desa,” ujarnya.
“Ini kan akal akalan. Yang menghuni desanya sangat sedikit, tapi dana desanya ratusan juta rupiah setiap tahun. Bahkan, ada desa yang sama sekali tidak dihuni. Ini luar biasa,” ujar Abyadi.
Abyadi mengharap agar masalah ini diproses oleh penegak hukum. Sebab kucuran dana kepada desa fiktif maupun yang berpenghuni sangat sedikit itu harus diketahui secara jelas bagaimana pertanggungjawabannya.
“Kalau ini terus dibiarkan tanpa ada pengusutan, itu sama artinya membiarkan uang negara ini digunakan tanpa tepat sasaran,” katanya.
Atas temuan ini, Ombudsman RI Perwakilan Sumut sendiri dalam waktu dekat akan mengundang Sekda Pemkab Nias Barat. Mereka akan meminta klarifikasi Pemkab Nias Barat mengenai kucuran dana kepada desa-desa dimaksud.
“Kita mau ini jelas. Kalau memang tidak layak dapat dana desa, jangan diakal-akali. Pemerintah harus menghentikan pengucuran dananya,” bebernya.
Ombudsman RI Perwakilan Sumut juga akan meminta klarifikasi Pemkab Nias Barat yang merekomendasikan pembangunan fasilitas olahraga tidak sesuai lokasi yang dicanangkan.
“Kita akan minta klarifikasi terkait soal adanya rekomendasi Sekda Nias Barat untuk membangun sarana prasarana olahraga milik Desa Kafokafo yang dibangun di Desa Sirombu,” pungkasnya.
(MK/Hukum)
Komentar