Jakarta, monitorkeadilan.com — Wacana pemekaran wilayah papua mulai mendapat tentangan keras dari sebagian elemen penting di Papua. Tidak main-main, Majelis Rakyat Papua (MRP) yang menentang.
MRP menolak pembentukan dua provinsi baru di Papua, yakni Provinsi Papua Selatan dan Papua Tengah. Menanggapinya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut akan membangun komunikasi dengan MRP terkait rencana pemekaran wilayah di Papua.
“Tapi kita akan bangun komunikasi lagi sehingga kita mendapatkan kebulatan yang dominan seperti apa. Baru kita akan laksanakan,” ujar Tito di Istana Negara, Jakarta, Jumat (1/11).
Mantan Kapolri itu menerangkan, rencana pemekaran dua provinsi baru di Papua masih memerlukan kajian yang mendalam. Hal itu pun merupakan tindak lanjut dari usulan dan aspirasi masyarakat di bawah.
Menurutnya wajar jika terdapat pro dan kontra mengenai rencana pemekaran wilayah di Papua.
“Kita akan biarkan nanti. Ini kan aspirasi dari bawah. Kita tangkap aspirasi itu. Kalau nanti ada pro dan kontra itu biasa dalam pendapat saya,” kata Tito.
Majelis Rakyat Papua (MRP) menolak pembentukan dua provinsi baru di Bumi Cenderawasih. Ketua MRP Timotius Murib menegaskan, penambahan dua wilayah tingkat satu yang baru di Papua, bukan solusi dari persoalan yang dialami rakyat Papua selama ini.
Alih-alih menyetujui, Timo mengatakan wacana pembentukan dua provinsi baru akan memicu konflik horizontal antara sesama rakyat yang wilayahnya akan dimekarkan. “MRP sebagai (lembaga) aspirasi kultural sangat menyesal kalau ini (wacana pemekaran) dipaksakan. Karena hanya akan memakan korban rakyat Papua sendiri. Rakyat Papua yang akan menjadi tumbal. MRP akan menolak. Saat ini, kami dalam posisi menolak,” kata Bapa Timo saat dihubungi Republika dari Jakarta, Selasa (29/10).
Menurut Timo, meski belum resmi diputuskan, wacana pemerintah pusat membentuk dua provinsi baru di wilayah paling timur di Indonesia tersebut, cacat prosedural ketatanegaraan. Timo menerangkan, MRP merupakan lembaga resmi negara yang khusus ada di Papua.
MRP punya kewenangan yang mengacu dalam UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Dalam beleid tersebut, kata Timo Pasal 76 menebalkan tentang aturan main pemekaran.
Ia menerangkan, pemekaran berawal dari ajuan eksekutif di tingkat provinsi dan kabupaten yang disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Ajuan tersebut, pun kata dia, mengharuskan adanya kajian menyangkut tentang kebutuhan rakyat Papua yang wilayahnya akan dimekarkan.
Setelah eksekutif dan DPRP melakukan pembahasan, persetujuan terakhir ada di MRP. Persetujuan MRP itu, pun kata Timo tak asal. Karena mengharuskan MRP memperhatikan aspek kesatuan sosial adat dan budaya suku dan masyarakat, serta kesiapan sumber daya manusia, juga kemampuan perekonomian wilayah baru yang akan dibentuk. Persetujuan dari MRP, akan menjadi rekomendasi utama bagi pusat untuk melakukan pemekaran.
(MK/Nasional)
Komentar