Jakarta, monitorkeadilan.com — Dalam setiap kebijakan selalu ada yang akan diuntungkan, apalagi jika kebijakan tersebut bernilai besar dan mendasar mencakup kepentingan masyarakat luas.
Termasuk pemekaran wilayah, adanya perubahan besar yang akan memberikan konsekuensi yang tidak kecil. Dari setipa perubahan tersebut, memunculkan berbagai “peluang” bagi siapa saja untuk meraih keuntungan, baik keuntungan finansial maupun kekuasaan.
Terkait pemekaran di wilayah pulau papua, menarik dicermati, siapa saja pihak yang akan meraup keuntunga paling besar, apa masyarakat akan lebih menikmati pemerataan pembangunan atau justru elit yang tetap menjadi penikmat paling besar ?
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian memastikan rencana pemerintah untuk memekarkan wilayah Papua dengan menambah dua provinsi baru di kawasan tersebut.
Rencana itu diumumkan Tito usai mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengunjungi Papua akhir pekan lalu.
Rencana pemekaran wilayah didasari oleh aspirasi tokoh-tokoh Papua usai terjadinya serangkaian konflik di dua kawasan Indonesia Timur. Dalam Implementasinya, Tito juga memastikan rencana pemekaran tak akan terhambat program moratorium yang diterapkan Jokowi sejak 2014.
“Prinsipnya Pak Presiden sampaikan moratorium, tapi mungkin akan ditindaklanjuti karena ada aspirasi dan kekhususan di Papua,” ungkap Tito, Selasa (29/10).
Sebagai langkah awal, pemerintah memastikan pembentukan satu provinsi baru yang akan dinamai Papua Selatan. Provinsi baru ini akan ‘membajak’ sebagian daerah Provinsi Papua, yaitu Kabupaten Mappi, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Merauke. Namun, Tito belum merinci pasti waktu rencana pemekaran itu akan dimulai.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku sudah mengutak-atik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan menyanggupi modal rencana pemekaran. Tentu hal itu akan dieksekusi jika sudah mendapat kepastian hukum.
Namun, Sri Mulyani menyebut pemekaran berpeluang besar tidak akan dapat dilakukan tahun ini karena porsi APBN 2019 sudah berjalan dengan sisa waktu tinggal dua bulan.
Walaupun belum bisa memberi gambaran secara rinci, Sri Mulyani memprediksi nilai anggaran untuk proses pemekaran tidak akan berjumlah besar, karena pembentukan provinsi tidak dibangun dari nol oleh pemerintah.
“Kan semuanya tidak harus baru, karena dari sisi gedung pemerintah dan lain-lain bisa menggunakan yang ada dulu. Bertahap bisa dipenuhi,” ujarnya.
Pemekaran Provinsi sudah banyak dilakukan di berbagai daerah di masing-masing pulau di Tanah air, sejak era kemerdekaan Indonesia, hingga tahun 2014 lalu sebelum program moratorium berlangsung.
Pada dasarnya, pemekaran daerah dilakukan karena pelbagai alasan, mulai berasal dari keinginan suatu daerah untuk dimekarkan, hingga kebijakan pemerintah demi mempermudah manajemen dan pendataan daerah. Pemekaran juga biasanya dilakukan untuk mencapai pemerataan infrastruktur demi kesejahteraan rakyat.
Kendati demikian, Ekonom Institute for Development Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai pemekaran Provinsi Papua bukan suatu solusi yang cocok untuk mensejahterakan masyarakat Papua. Alasannya, dari pengalaman sebelumnya selama ini belum terlihat secara pasti bahwa wilayah hasil pemekaran mengalami perkembangan perekonomian yang signifikan.
“Mungkin ada beberapa mengalami peningkatan, tapi itu bukan dari dampak pemekaran bahkan beberapa daerah yang terjadi pemekaran itu bukan malah semakin membaik. Kinerja nya malah semakin buruk, misalnya tingkat ketimpangan, dan tingkat kemiskinan,” kata Enny, Selasa (29/10).
Sampai saat ini pun belum ada literatur yang mengkonfirmasi bahwa pemekaran daerah, baik provinsi maupun kabupaten kota itu punya dampak terhadap berbagai macam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bukannya mensejahterakan, Enny menilai pemekaran justru akan berpotensi meningkatkan elite capture (dominasi kaum elit) yang kerap menjadi masalah di wilayah Papua selama ini. Pasalnya, struktur anggaran yang sudah ditentukan di masing-masing daerah tidak akan berbeda walaupun sudah terjadi pemekaran. Hal itu dapat dimanfaatkan oleh kaum-kaum elit.
“Struktur anggaran di daerah-daerah termasuk yang di pemekaran tadi, itu nggak ada bedanya dengan sebelumnya. Jadi heavy-nya, lebih dari 70 persen itu juga untuk birokrasi,” ungkapnya.
Alhasil, anggaran yang digunakan untuk memeratakan ekonomi dan pembangunan infrastruktur malah dapat menjadi amunisi bagi para kaum elit untuk melakukan penyelewengan anggaran.
Enny menilai anggaran yang akan disisipkan pemerintah akan berdampak dari pemekaran tersebut. Dengan adanya pemekaran, dana transfer yang terbagi dari alokasi umum dan alokasi khusus dapat lebih meningkat, sementara pengeluaran birokrasi tetap sama.
“Jadi kalau misalkan tadinya untuk birokrasi itu cukup 10 triliun waktu sebelum pemekaran, setelah pemekaran pun 10 triliun. Akibatnya implikasinya kan menambah yang baru berarti kan double secara anggaran,” tuturnya.
Dengan demikian, pemekaran dapat dinilai bukan menjadi solusi utama dari penyelesaian ketimpangan pembangunan dan kesejahteraan di Papua. Apalagi, dana yang dianggarkan Papua sudah cukup besar selama ini dengan adanya dana alokasi umum, khusus, dana penyesuaian dan juga dana Otonomi khusus.
“Padahal persoalannya kan justru terjadi elite capture, nah kalau solusinya memekarkan, berarti kan menambah elite capture yang artinya menambah masalah,” tuturnya.
Pada akhirnya, pemerintah sendiri tetap harus memberi andil dalam mengkaji, serta mengawasi aliran anggaran apabila pemekaran terjadi, sehingga dapat betul-betul memastikan dana dioptimalkan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal juga menilai ada potensi penyelewengan dana anggaran daerah dengan diberlakukannya pemekaran di Papua. Menurut Faisal, Pemerintah perlu berperan dalam mengevaluasi dana-dana yang dialirkan dari hulu ke hilir.
“(Dana) harus dievaluasi. Karena kalau hanya disebarkan begitu saja, tanpa ada evaluasi, ini itu yang tadi dikuatirkan, menguat. Yang terjadi adalah elite capture, jadi dana itu digunakan oleh elite, tapi tidak ada triple down effect-nya, dampaknya bagi masyarakat kelas bawah,” kata Faisal.
Sementara itu, kesenjangan perekonomian kaum elit dan masyarakat Papua dapat tercermin dari tingkat pelayanan masyarakat, Pendidikan, maupun kesehatan di daerah pedalaman Papua yang masih minim, walaupun sudah dikucuri oleh dana otonomi khusus selama ini.
Di luar sisi ekonomi, Faisal berpendapat urgensi pemekaran di wilayah Papua lebih condong ke dalam faktor sosial politik, dan sudah sepatutnya dilakukan. Alasannya, karakteristik dari masyarakat papua yang memiliki perbedaan adat istiadat yang berbeda di tiap wilayah membuat masyarakat Papua sulit dalam berintegrasi.
“Wilayah papua itu karakteristiknya memiliki 5 wilayah adat yang besar antara adat wilayah yang satu dengan yang lainnya itu memiliki perbedaan dari sisi governance-nya. Latar belakang sosial budaya ini menjadi lebih penting sehingga pemekaran provinsi itu menjadi penting dikarenakan ketua adat di wilayah adat yang besar ini lebih dipandang oleh masyarakat papua,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Faisal mengatakan sepatutnya masyarakat memandang masalah pemekaran papua ini tidak melulu dari permasalahan ekonomi saja, namun juga dengan approach atau pendekatan yang berbeda untuk Papua, karena papua tidak bisa disamakan dengan daerah-daerah lain yang ada di Indonesia.
“Lima wilayah adat besar yang ada di Papua itu salah satunya memang ada di Papua Selatan, jadi saya pikir ini salah satu yang urgent yang harus dilakukan karena ini juga nantinya berkaitan dengan permasalahan bagaimana meredam konflik horizontal yang ada di Papua seperti perbedaan wilayah,”ujarnya
Faisal memandang bahwa sejatinya Papua Selatan sudah dapat dimekarkan, karena dari sisi ekonomi sendiri, anggaran yang diberikan negara kepada Papua sudah lebih dari cukup, serta telah memiliki sumber-sumber pembiayaan daerah sendiri.
“Secara PAD yang sudah lebih baik, disamping selama ini kan sebetulnya Papua kan terlalu besar, sementara sumber dayanya antara satu dan wilayah lain berbeda-beda. Nah yang Papua Selatan, Merauke (kota besar) sudah bisa menjadi satu wilayah sendiri yang otonom,” pungkasnya
Selain itu, apabila sudah dilebur menjadi provinsi-provinsi yang lebih kecil, Faisal menilai setidaknya akan mulai terlihat sumber-sumber ekonomi yang bisa digali di daerah, dan juga perlahan menghilangkan ketergantungan Papua dengan pemerintah pusat.
(MK/Ekonomi)
Komentar