Jakarta, monitorkeadilan.com — Estimasi biaya pemindahan ibu kota oleh pemerintah diduga terlalu kecil. Salah satu pakar ekonomi yang menyatakan kesalahan tersebut adalah Dr. Anthony Budiawan M.Sc., CMA. Jauh di bawah standar banch mark atau patokan dunia.
Penilaian ini disampaikannya dalam seminar “Menyoal Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (3/.9).
“Saya katakan mungkin urgensinya ada, karena berkaitan dengan aspek keuangan Rp486 triliun. Motif dari keuangan ini apa pun bisa segera saja terjadi,” ucap Anthony.
Eks direktur PT Berlian Laju Tanker Tbk (BLTA) ini menyebutkan, angka Rp 486 triliun itu merupakan perencanaan Bappenas dan pembangunannya akan dilakukan periode anggaran 2020-2024. Jumlah penduduk yang akan dipindakan sekitar 1,5 juta orang.
“Kalau kita lihat Rp 486 triliun, data Bappenas, dibagi 1,5 juta penduduk, ongkos biaya pembangunan itu hanya Rp 324 juta, atau dalam dollar Amerika 22.500, untuk memindahkan 1,5 juta penduduk ke ibu kota baru,” jelasnya.
Dia lantas menyatakan bila dibandingkan dengan banch mark atau patokan dunia, maka biaya yang direncanakan pemerintah sekitar 4 atau 5 kali lebih murah.
Sebab, biaya standar membuat ibu kota baru di dunia itu sekitar USD 100 ribu – USD 500 ribu per recidence.
Oleh sebab itu, Anthony yang pernah bergabung dalam tim ekonomi pasangan Capres – Cawapres Prabowo Subianto – Sandiaga Uno, khawatir biaya yang direncanakan sebesar Rp486 triliun ini nantinya bisa membengkak di tengah jalan.
“Jangan-jangan nanti langsung membengkak jadi Rp2000 triliun, lima kali lipat. Dan saya sangat yakin dengan Rp486 triliun, bisa jadi bukan ibu kota (negara) yang dibangun, ibu kota kabupaten lagi. Sangat di bawah standar,” kata Anthony, disambut tawa peserta seminar.
(MK/Ekonomi)
Komentar