Jakarta, monitorkeadilan.com — Ada lelucon tentang politisi. Bekerja itu saat menjelang dan ketika kampanye, setelah pemilu selasai langsung istirahat, dan setelah dilantik kumpulkan “amunisi” untuk “perang” lagi di pemilu berikutnya. Jadi ketemu dengan konstituen kapan ? Ya saat kampanye dan pemilu.
Lelucon ringan tersebut bisa jadi menggambarkan fenomena umum politisi di negeri ini. Namun tentu tidak semua politisi berlaku seperti itu. Tetap ada politisi yang mempunyai sikap idealis dalam melayani masyarakat.
Seseorang disebut politisi karena motif dan gerak pekerjaannya berhubungan dengan kekuasaan. Dia bekerja dan berjuang untuk masyarakat, tapi muaranya adalah mencapai sebuah jabatan politik (kekuasaan), baik di eksekutif maupun legislatif.
Bagaimana jika ada politisi yang orientasinya bukan kekuasaan (politik) dan tindakannya tidak politis ? Itulah yang disebut negarawan. Bisa jadi dia adalah seorang politisi karena menduduki sebuah jabatan politik, tapi dia hanya menggunakan jabatan politiknya sebagai “kendaraan” untuk mencapai tujuan utamanya yang melampaui tujuan-tujuan politis yang biasanya bersifat jangka pendek, syarat kepentingan, pragmatis, dan kadang (maaf) transaksional.
Orientasi (tujuan) dan tindakan seorang negarawan biasanya mengedepankan kepentingan bangsa (masyarakat luas) dan meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, dan partai. Dan seorang negarawan tidak selalu harus seorang politisi di tingkat nasional. Ia bisa hadir dalam sekup yang lebih kecil.
Monitorkeadilan.com mengangkat sosok politisi baru wanita asal Gorontalo yang kini sedang menjadi rising star di tengah “kepungan” politisi-politisi pria yang sarat pengalaman. Secara luar biasa, Ibu ini mengalahkan para politisi kawakan yang jauh lebih berpengalaman dan lebih dikenal sejak lama, di pemilu 2019 lalu. Kini ia tinggal menunggu pelantikan sebagai anggota DPR RI dan akan “bertarung” di Senayan.
Alasan redaksi monitorkeadilan.com mengangkat tema ini karena Indonesia yang merupakan “kapal besar” bagi kita semua ini, sangat membutuhkan negarawan-negarawan di setiap tingkatnya, dari daerah hingga pusat. Dan mengangkat sosok Idah Syahidah sebagai salah satu teladan dalam konteks ini sangatlah relevan.
Idah Syahidah adalah “orang baru” dalam dunia politik di provinsi Gorontalo, apalagi di tingkat nasional. Bagaimana politisi yang pengalamanannya masih hijau bisa menandingi mereka para politisi gaek dan kawakan ? Bagaimana seorang perempuan bisa secara luar biasa melampaui para politisi pria ? Mungkin ada yang berpendapat, dia kan istri Gubernur Gorontalo, Rusli Habibie.
Keberadaan sang suami pasti menjadi keuntungan tersendiri, tapi seberapa besar pengaruhnya, kita layak memperdebatkannya secara tajam. Namun yang pasti, jika Idah Syahidah tidak memiliki kualitas dna kapasitas yang mumpuni, rasanya pengaruh Pak Gubernur pun tidak akan banyak membantu. Terbukti, Idah Syahidah hanya kalah oleh tokoh nasional asal Gorontalo yang namanya bahkan sudah mendunia, yaitu Rahmat Gobel, konglomerat kaya. Fakta lain menunjukkan, lawan-lawan lain yang ia kalahkan juga memiliki kualitas yang tidak kalah oleh suaminya. Jadi yang ia kalahkan dalam kontestasi pemilihan legislatif yang lalu bukanlah tokoh-tokoh sembarangan.
Apa rahasia Idah Syahidah bisa memenangi kompetisi ketat pemilu 2019 untuk menjadi anggota dewan di tingkat pusat ? Apa landasan logis kami menilai ia sebagai salah satu politikus perempuan yang layak dikategorikan negarawan ?
Pertama, Idah Syahidah telah, sedang, dan akan terus bekerja melayani masyarakat (setidaknya saat ini baru terbatas di Gorontalo), terlepas apakah ia terpilih atau tidak di pemilu 2019 yang lalu. Indikator bahwa ia tidak bekerja hanya untuk menarik simpati (tanpa motif politis), yaitu ia tetap terjun membantu masyarakat lemah di mana ia tidak mendapat suara signifikan di daerah tersebut, padahal saat ini adalah momen paska pemilu yang umumnya banyak politisi terpilih “bersantai istirahat” menunggu pelantikan. Tapi tidak bagi Idah Syahidah, ia menggerakkan timnya dalam wadah Lembaga Pendidikan Pelatihan (LPP) Sweet Media untuk terus bergerilya di tengah kemiskinan dan kebodohan rakyat kecil, dari megahnya kota Gorontalo hingga pelosok dusun dan pesisir pantai. Meninggalkan zona nyaman dan melewati gunung demi gunung hanya untuk bisa melakukan pelayanan, tidak ada keuntungan materi yang dikejarnya. Bahkan semua biaya itu berasal dari kantung pribadinya.
Kedua, ketulusannya pada masyarakat kecil terbukti adalah “senjata” paling hebat mengalahkan popularitas politisi kawakan, menjungkalkan “amunisi politik” yang besar, memukul mundur secara hebat stereotip bahwa dunia politik itu pantasnya dikuasai para pria. Idah Syahidah paham betul bahwa masih banyak masyarakat Gorontalo yang hidup miskin, sedang anggaran terbatas pemerintah tidak mungkin bisa mengatasi semua kemiskinan tersebut, apalagi kemiskinan ini adalah kemiskinan kultural, bukan struktural. Maka pendekatannya bukan melalui kekuasaan, tapi hanya bisa dipecahkan melalui pendidikan.
Karena itu, Idah Syahidah menggaungkan visi, “Melalui pendidikan kita putus mata rantai kemiskinan dan kebodohan”. Banyak program di lapangan yang telah dilaksanakan Idah Syahidah bersama timnya. Melalui LPP Sweet Media, para ibu rumah tangga dan masyarakat lemah lainnya didatangi dan diberikan berbagai pelatihan sehingga mereka memiliki keterampilan untuk membangun usaha rumahan (home industry). Untuk mereka yang putus sekolah juga didatangi dan diberikan pengajaran sehingga bisa mengikuti Paket Pendidikan Kesetaraan (A, B, dan C) secara gratis. Semua biaya ditanggung oleh Idah Syahidah.
(Tajuk Redaksi MK/Fokus)
Komentar