Jakarta, monitorkeadilan.com — Mencermati gejolak yang tiada henti di Indonesia, setidaknya lima tahun terakhir, menarik untuk kita cermati. Berikut adalah ulasan analisis menarik.
Sejak pistol penanda kompetisi pilpres 2014 diledakkan ke udara, saya sudah mencium aroma jika bangsa ini akan kembali dihadapkan dengan situasi yang kemungkinan sulit dihindari: ancaman perpecahan. Benar saja, perang proksi, tarung ideologi, hingga taklid buta kepada junjungan membuat rakyat Indonesia seperti berada di dua warna yang berbeda; merah dan putih.
Siapa yang bisa menyangka pertarungan antara Prabowo-Jokowi di pilpres 2014 membuat kedengkian begitu anyir tercium. Kita jadi saling curiga, tak ada lagi kehangatan antartetangga, terpisahnya teman tongkrongan, bahkan keributan di rumah tangga dan sesama sanak famili hanya berbeda angka. Seperti yang mungkin diprediksi banyak pihak, kompetisi berlanjut di Pilgub DKI 2017. Anies Baswedan-Sandiaga Uno mewakili kubu Prabowo, dan Ahok-Djarot representasi Jokowi.
Meski kompetisi pilpres dan pilgub selesai, tak membuat iklim silaturahim membaik. Jagat media sosial pun menjadi gelanggang saling serang, sampai saling membunuh karakter. Kita mungkin saat ini sudah terbiasa dengan cap “penistaan agama”, “kriminalisasi ulama”, “kaum intoleran”, “anti-Pancasila”, “pendukung khilafah”, “PKI gaya baru”, “Bela NKRI”, “wahabi”, “antek HTI”, dan tentu saja “cebong-kampret”. Tapi sadarkah kita jika ada sebuah tangan yang memiliki kekuatan dan kepentingan besar tentunya, yang menciptakan itu semua agar Indonesia tetap menjadi sasaran empuk: dikeruk sumber daya alamnya, dikerangkeng dengan utang, sampai dikoyak keharmonisan sesama anak bangsa.
Semua kericuhan yang terjadi hingga hari ini tersambung dalam garis waktu yang sistematis. Pertarungan di pilpres 2014 disebut sebagai pertarungan kaum patriot dengan antek PKI. Patriot siapa lagi jika bukan Prabowo, sementara tudingan antek PKI disematkan kepada Jokowi; meski berkali-kali Jokowi membantah memiliki hubungan partai terlarang tersebut, tetap saja stigma yang sudah tercipta melekat hingga hari ini.
Aroma kemarahan kembali terpatik setelah Ahok yang saat itu masih menjadi gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi yang terpilih menjadi presiden ketujuh RI, melontarkan kalimat yang dinilai sebagai penistaan agama. Ahok mengomentari soal surah al-Maidah ayat 51 soal keharusan umat Islam yang memilih pemimpin seiman. Singkatnya setelah berbulan-bulan umat Islam yang marah karena merasa kitab suci dan agamanya dinistakan melakukan aksi damai, Ahok diputus bersalah dan harus menjalani hukuman kurungan penjara selama dua tahun.
Setelah kasus Ahok ternyata bara perang masih menyala. Sejumlah ulama diperiksa, dijadikan tersangka, hingga disel karena sejumlah kasus yang munculnya masih kontroversial. Paling fenomenal tentu kasus Habib Rizieq Shihab yang memaksa dia hijrah ke Arab Saudi. Kasus yang menimpa ulama-ulama atau umat Islam dengan proses yang cepat di Kepolisian pun menimbulkan gejolak baru. Sebab, sejumlah kasus yang sama tapi menimpa kubu seberang seolah dipeti-es-kan.
Menjelang pilpres 2019, isu khilafah pun diciptakan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pun dipilih–atau mungkin sengaja diciptakan, menjadi musuh bersama. Pemerintah membubarkan HTI setelah mencabut SK badan hukum. Alasannya; HTI ingin mendirikan negara khilafah menggantikan Pancasila. Dan, perang ideologi di Indonesia kembali dimulai.
HTI yang menggunakan bendera ar-Rayah sebagai lambang mereka juga dilarang. Padahal bendera itu adalah bendera Rasulullah dan bertuliskan kalimat tauhid, lafaz yang menjadi pemisah antara umat Islam dengan umat agama lain dalam hal ke-Esa-an Tuhan. Bendera hitam itu pun dijadikan kambing hitam; siapa yang mengibarkan bendera ar-Rayah artinya anti-NKRI, antek khilafah, dan harus dihukum karena melanggar hukum. Sedangkan orang yang kedapatan mengibarkan bendera palu-arit sebagai lambang PKI yang dilarang pemerintah sejak puluhan tahun lalu, diberikan perlakukan “lebih lembut”.
Namun, apakah umat Islam Indonesia saat ini tersakiti? Tidak juga menurut saya. Setidaknya saat ini pemerintah tidak–atau mungkin belum–melarang umat Islam untuk shalat berjamaah, membaca Alquran, dan kita tetap tenang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Sampai di sini pasti ada yang kesal membaca tulisan saya. Sabar, tahan dulu emosi Anda.
Saya juga tidak menampik jika umat Islam sekarang, meski masih bisa beribadah, mulai terusik menjalankan ajaran agamanya; contohnya menggelar pengajian atau tabligh akbar. Mirisnya, kasus pelarangan atau pembubaran pengajian sejumlah ustaz yang dianggap berada di kubu Prabowo-Sandi-Anies, dilakukan oleh kaum Muslimin lainnya. Ingat, dalam linimasa sejarah, selalu ada pengkhianat bangsa dan agama. Mulai dari zaman Portugis, Belanda, Inggris, sampai Jepang, yang rela menjadi centeng dan menindas saudara sebangsa dan seagama sendiri demi kepingan hepeng.
Meski umat Islam di Indonesia memiliki saham terbesar dalam meraih yang katanya kemerdekaan, kita tidak boleh menyingkirkan peran saudara-saudara umat agama lain yang juga ikut berjuang membuat tanah Nusantara tidak lagi dijajah. Setidaknya tidak dijajah lagi secara fisik, meski di hampir seluruh bidang lainnya Indonesia masih bisa dikatakan terjajah oleh imperalisme.
Setelah hampir berhasil memutilasi persaudaraan di tubuh umat Islam dengan pembubaran pengajian, kriminalisasi ulama dan tebang pilih kasus, “orang di balik layar” terus mengayunkan kasus baru agar membuat Indonesia tetap terayun di ombak ketidakharmonisan. Sasaran selanjutnya adalah UAS alias Ustaz Abdul Somad. Ulama asal Asahan, Sumatra Utara itu memiliki potensi kembali menyatukan umat Islam. Posisi UAS yang memiliki banyak jamaah tentu saja membahayakan. Apalagi, setelah UAS pada pilpres 2019 secara terang-terangan memberikan dukungan kepada Prabowo.
UAS dilaporkan ke polisi. Dia dilaporkan karena isi ceramahnya dinilai menghina lambang salib. UAS melawan? ternyata tidak. Sikapnya tetap tenang, bahkan saat diwawancara, UAS cukup menjelaskan bahwa video yang viral adalah ceramahnya tentang patung yang dilarang dalam agama Islam. Harap dicatat, UAS menjelaskan fiqih sebagai seorang ulama kepada jamaahnya, umat Islam dan dalam mimbar khusus. Lantas apa bedanya UAS dengan Ahok yang dipenjara karena dianggap menghina agama lain.
Cendekiawan dan Guru Besar Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM, menjelaskan kasus Ahok berbeda konteks dengan kasus yang menimpa UAS. Sebab, Ahok adalah pejabat publik dan dia bicara di ruang publik terbuka. Parahnya Ahok bukan ustaz atau pendeta, tapi gubernur. Karena itu, Abdul Hadi yakin ada indikasi adu domba di balik pelaporan UAS.
Agar ombak terus menghantam dan menggulung kapal bernama Indonesia, muncul tragedi baru: penahanan 42 orang di asrama mahasiswa Papua di Jawa Timur. Tudingannya tak main-main merusak bendera Merah Putih, meski bukti-buktinya tidak jelas.
Mereka dikepung sebelum digelandang ke kantor polisi. Meski tidak ada yang ditahan, insiden itu sudah cukup membuat masyarakat di Papua terusik. Apalagi ada laporan dalam pengepungan di mana polisi menggunakan gas air mata dan kekuatan personel penuh, seorang pengepung bertindak rasis dengan mengatakan kalimat tak pantas dan rasis: “anjing! babi! monyet! keluar lu kalau berani! hadapi kami di depan!”
Sebagai umat Islam, saya sangat marah dengan kabar itu. Dalam surah al-Hujaraat Allah menegaskan; “Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk).” (QS al-Hujuraat [49]: 11).
Buntut dari pengepungan dan tindakan rasisme itu bisa ditebak. Tak sampai 24 jam bara kemarahan karena merasa harga dirinya dilecehkan menyengat rakyat tanah Papua. Kericuhan pecah di Manokwari, Ibu Kota Papua Barat, sebagai imbas dari penangkapan puluhan mahasiswa di Jawa Timur. Kota Sorong dan Jayapura pun dilaporkan ikut menjadi ladang warganya melampiaskan kemarahan.
Di video-video yang beredar di medsos, kericuhan berlangsung menakutkan. Gedung DPRD Papua dibakar sebagai perwujudan kemarahan warga. Jalan-jalan utama diblokir, dan Bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM) terlihat dikibarkan para pendemo yang turun ke jalan.
Untuk Anda yang rajin membaca berita tentu akan peka jika rentetan peristiwa untuk membuat bara amarah tetap terjaga, sudah terjadi sejak lama. Lantas siapakah “orang di balik layar” yang menuliskan skenario itu semua? Siapa pelaku yang ingin mengadu domba?
Profesor Abdul Hadi punya dugaan kuat semua itu dilakukan kelompok ateis dan kaum liberalis. “Mereka bicara HAM, kebebasan, dan demokrasi menurut ukurannya sendiri yang kebolak–balik. Dan saya merasa kepentingan modal di belakang keriuhan ini semua. Saya merasa itu.”
Warga Papua yang belajar di Pulau Jawa bukan satu atau dua tahun belakangan saja. Sudah sejak lama warga Papua dikirim ke Pulau Jawa untuk menjadi mahasiswa dan menyerap ilmu di Kota Pendidikan tersebut, sehingga ketika lulus mampu mengamalkan ilmunya untuk membangun di tanah leluhur. Dan tentu saja sejumlah persoalan pun pernah terjadi antara mahasiswa Papua dengan warga lokal atau pemerintahannya. Tapi layaknya saudara, tentu tidak selamanya rukun. Terkadang ada pertengkaran kecil yang seharusnya terselesaikan tanpa menimbulkan dendam.
Saya jadi teringat percakapan antara Gubernur Irian Jaya Isaac Hindom (periode 1982–1988) dengan Gubernur Jawa Tengah Muhammad Ismail (periode 1983-993) yang pernah saya baca di blog Andreas Harsono sekitar tiga tahun lalu. Sang penulis artikel, Eri Sutrisno, merawikan, waktu Izaac Hindom jadi gubernur Irian Jaya, suatu ketika beliau dapat telepon dari Ismail yang mengeluh karena ada beberapa mahasiswa asal Irian Jaya yang berkelahi.
Hindom, sesudah mendengar dengan seksama keluhan koleganya, menjawab, “Mohon maaf Bapa Gubernur, belakangan ini saya sibuk sekali, sehingga tidak sempat mengurus anak-anak saya itu.”
Gubernur Ismail dengan takzim bertanya, “Sibuk apakah Pak Gub?”
Hindom menjawab, “Saya sibuk mengurus anak-anak Bapak, belasan ribu jumlahnya. Mereka datang sebagai transmigran. Harus disiapkan tanah, penginapan sementara, makanan, air bersih, sekolah, tenaga perawat ….”
Gubernur Jawa Tengah terdiam.
Bapak Hindom menyambung, “Jadi, tolonglah Bapak Gubernur mengurus anak-anak saya seperti saya dengan penuh kasih mengurus anak-anak Bapak yang pindah ke banyak tempat di Irian ini.”
Dan, persoalan itu pun selesai. Tak ada dendam di antara dua pemimpin daerah tersebut. Sekarang setelah Anda membaca panjang lebar pendapat saya di atas, apakah Anda rela menjadi bagian dari kelompok yang memang ingin membuat Indonesia bergejolak, lalu pecah terpisah tak lagi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia? Tak perlu dijawab, cukup direnungkan. Tabik.
Oleh Karta Raharja Ucu, Wartawan Senior
(MK/Fokus)
Komentar