oleh

Prof. Emil Salim Kritik Keras Rencana Pemindahan Ibu Kota Oleh Jokowi

banner 468x60

Jakarta, monitorkeadilan.com — Rencana pemindahan ibu kota Indonesia ke pulau Kalimantan tampaknya banyak mendapat kritik. Yang terbaru melontarkan kritik adalah Prof. Dr. Emil Salim, yang merupakan seorang ahli ekonomi, cendekiawan, pengajar, dan politisi senior Indonesia.

Mantan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden era Presiden Indonesia keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Emil Salim mempertanyakan urgensi pemindahan ibu kota negara yang saat ini direncanakan Pemerintahan Presiden Jokowi. Menurutnya, pemindahan ibu kota membutuhkan dana RP466 triliun.

banner 336x280

Dana itu menurutnya tidak sedikit. Hal tersebut diungkapkan Emil melalui cuitan di akun Twitter pribadinya, @emilsalim2010. Dalam cuitannya, ia meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar bisa menggalang diskusi publik agar semua pihak bisa melihat urgensi pemindahan ibu kota.

Selain itu, Emil yang juga pernah menjadi menteri di berbagai sektor pada era Presiden Indonesia kedua Soeharto turut menyoroti peralihan fungsi dari sejumlah gedung kantor pemerintahan yang sudah terlanjur dibangun di DKI Jakarta. Maklum saja, ketika pindah nanti berarti gedung-gedung kantor itu akan dikosongkan dan pemerintah membangun lagi di lokasi ibu kota baru.

“Presiden Jokowi minta izin DPR pindah ibu kota negara. Sebaiknya DPR buka kesempatan bagi publik umum mempersoalkan: apa urgensi pindah ibu kota dengan biaya Rp466 triliun? Bagaimana nasib gedung-gedung DPR, Mahkamah Agung, Gedung Pancasila, Bank Indonesia, dan lain-lain?” tulisnya pada Minggu (17/8).

Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Nirwono Yoga pernah menilai bahwa wacana pemindahan ibu kota merupakan kebijakan yang ‘mubazir’ alias suatu yang sia-sia. Apalagi, dengan alasan ingin meratakan pembangunan dan perekonomian.

Sebab, tujuan itu sejatinya bisa dilakukan dengan mengalirkan uang untuk pembangunan ibu kota baru ke seluruh daerah dan laksanakan pembangunan di daerah sesuai dengan potensi dan kebutuhan masing-masing daerah.

“Kalau bicara urgensi dan prioritas, tidak ada alasan yang masuk. Lebih baik uangnya alirkan ke daerah, sehingga pembangunan serentak dan merata,” ucapnya.

Menurut Nirwono, pemindahan ibu kota tidak perlu dilakukan karena tidak didasari oleh alasan penting. Ia juga menilai alasan pemindahan dilakukan pemerintah untuk mengurangi beban Jakarta dan meratakan pembangunan tak ‘rasional’.

Bila ingin melakukan pemerataan, katanya, lebih baik pemerintah membentuk pusat bisnis baru di kabupaten dan kota lain. Misalnya, Surabaya merupakan salah satu kota besar di Jawa Timur, namun pemerintah bisa membidik daerah baru untuk menjadi pusat bisnis di provinsi tersebut, seperti Malang.

Selain itu, pemindahan ibu kota membutuhkan biaya yang tak sedikit. Menurutnya, ketimbang menghabiskan anggaran besar untuk membuat ibu kota baru, lebih baik pemerintah menyalurkannya ke daerah untuk memacu perekonomian daerah.

Ia juga khawatir calon ibu kota baru di Indonesia akan senasib dengan Canberra, ibu kota baru Australia dan Putrajaya, pusat administrasi Malaysia. Sebab, pemindahan yang dilakukan kedua negara tetangga tidak serta merta membuat Canberra dan Putrajaya benar-benar diminati oleh masyarakatnya.

“Begitu akhir pekan ibarat ‘kota mati’ karena orang-orang yang kerja di sana, kembali ke daerahnya. Jadi tidak ada denyut kehidupan, hanya untuk pemerintahan saja,” katanya.

Kendati begitu, sebelumnya Jokowi pernah memastikan bahwa pemindahan ibu kota tidak akan memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), meski membutuhkan biaya yang besar. Pasalnya, pemerintah telah menyiapkan sejumlah alternatif pembiayaan untuk pemenuhan kebutuhan dana.

“Saya sampaikan kepada menteri keuangan, bahwa kita berharap tidak membebani APBN. Tapi anggaran kita siapkan untuk menjalani,” ujarnya.

Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro turut mengonfirmasi pernyataan kepala negara. Ia mengatakan penggunaan APBN hanya akan mencapai Rp93 triliun dari total kebutuhan anggaran pemindahan ibu kota yang berkisar Rp323 triliun sampai Rp466 triliun.

Sementara sisanya, ditutup oleh kerja sama antara pemerintah dan swasta serta swasta dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Para BUMN dan swasta, katanya, bisa menutup kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendukung, misalnya perumahan, pusat perbelanjaan, dan lainnya.

Lebih lanjut ia mengatakan pemindahan ibu kota tidak akan memberatkan keuangan negara lantaran pemerintah bakal melakukan ‘tukar guling’ aset negara yang ada di DKI Jakarta untuk pembangunan ibu kota baru. Ia memperkirakan ‘tukar guling’ aset bervaluasi hingga Rp150 triliun.

‘Tukar guling’ dilakukan untuk menambal kebutuhan pembangunan ibu kota baru yang bersumber dari APBN. Dengan skema itu, katanya, pemerintah bisa mendapat Penerimaan Pajak Bukan Negara (PNBP) yang dihasilkan dari pengelolaan aset berupa gedung-gedung perkantoran pemerintah.

“Kalau pakai pajak kan itu APBN murni, nah kami pakai aset di Jakarta, itu bisa disebut sumber penerimaan baru alias PNBP. Ini bisa menambal kebutuhan APBN,” jelasnya.

Berdasarkan hasil perhitungan sementara, menurut Bambang, valuasi aset yang bisa dihasilkan dari gedung perkantoran pemerintah mencapai Rp150 triliun. Angka ini baru berasal dari gedung perkantoran di pusat Jakarta, seperti di kawasan Medan Merdeka, Thamrin, Kuningan, dan SCBD.

Untuk ‘tukar guling’, pemerintah menyiapkan beberapa skema. Pertama, bisa berupa kerja sama sewa gedung perkantoran dengan pihak yang membutuhkan.

Pada skema ini, pihak yang membutuhkan gedung kantor pemerintah hanya tinggal membayar sewa sesuai kontrak. Pemerintah tetap memiliki gedung tersebut, namun mendapat penerimaan sewa tetap.

Kedua, kerja sama berupa pembentukan perusahaan yang didirikan oleh dua atau lebih entitas bisnis dalam rangka penyelenggaraan bisnis pada jangka waktu tertentu alias joint venture. Ketiga, menjual langsung gedung kantor yang dimiliki ke pengembang atau perusahaan non pemerintah.

Keempat, sewa gedung dengan syarat penyewa yang merupakan pengembang melakukan pembangunan di kawasan ibu kota baru. Pengembang, katanya, bisa memilih ingin ikut membangun gedung kantor atau fasilitas pendukung, seperti perumahan dan pusat perbelanjaan.

“Kalau bisa ‘tukar guling’ ya bisa didapatkan langsung. Yang paling menguntungkan ya dijual langsung, tapi bisa juga dijual tapi dengan kompensasi dia (pengembang) harus ikut bangun ibu kota baru, misal membangun infrastruktur,” pungkasnya.

(MK/Ekonomi)

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan