oleh

Komnas HAM Minta TNI AL Tahan Diri Terkait Konflik Lahan Pasuruan dengan Warga

banner 468x60

Jakarta, monitorkeadilan.com — Sengketa lahan antara TNI Angkatan Laut dan warga Pasuruan, Jawa Timur, berpotensi memancing konflik setelah adanya tindakan TNI AL.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAMmeminta TNI AL menahan diri terkait sengketa lahan dengan warga di Pasuruan, Jawa Timur.

banner 336x280

Komisioner Komnas HAM Amirrudin mengatakan sikap menahan diri itu perlu dikedepankan agar tak terjadi bentrokan yang menimbulkan korban.

Sengketa lahan di Pasuruan terjadi antara militer dengan warga akibat pemasangan pagar dengan kawat duri oleh TNI AL dalam rencana perluasan bangunan di sekitar lokasi lahan sengketa pada Selasa (6/8).

“Kami ingin meminta TNI AL di Surabaya terutama yang berwenang di Pasuruan ini supaya menahan diri untuk mencegah adanya korban,” ujar Amiruddin dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (13/8).

Sebelumnya, pihak Komnas HAM telah menerima laporan pengaduan dari warga desa Sumberanyar, Pasuruan terkait sengketa itu pada Minggu (11/8) lalu.

Laporan tersebut menyatakan perasaan warga Pasuruan yang resah akibat aksi TNI AL yang merampas dan meratakan tanah pertanian warga, serta memasang pagar berduri di sekeliling lahan yang digunakan warga bertani.

Warga Pasuruan juga memohon Komnas HAM untuk mengupayakan penyelesaian konflik tersebut.

Berdasarkan laporan Tim Pemantauan Kasus Penembakan di Alas Tlogo yang disusun Komnas HAM pada 2007, TNI AL telah mengklaim atas 3.5 hektare tanah yang mencakup 11 wilayah desa di tiga kecamatan: Grati, Nguling, serta Lekok di Kabupaten Pasuruan.

Amiruddin pun meminta agar Pemprov Jatim turun tangan menjembatani dan memberikan solusi terkait sengketa lahan tersebut.

“Yang paling tahu solusinya itu sebenarnya kan Pemprov Jawa Timur. Yang kita sesali, sampai saat ini formulasinya itu belum ada,” ujarnya.

Amiruddin menjelaskan Komnas HAM hanya dapat memberi rekomendasi dan pendampingan bantuan agar penyelesaian masalah tersebut dapat sesuai dengan pemenuhan hukum hak asasi manusia. Rekomendasi itu, sambungnya, pun akan diberikan kepada Pemprov Jatim.

“Kita bisa merekomendasikan langkah-langkah yang bisa diambil, dan juga memberi pendampingan kepada Pemprov Jatim untuk menyelesaikan permasalahan dengan pemenuhan HAM,” kata Amiruddin.

Selain itu, Amiruddin juga meminta atensi Panglima TNI untuk menaruh perhatian dan menindaklanjuti penyelesaian konflik lahan TNI AL dengan warga.

Sementara itu, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga menjelaskan Perpres mengenai reforma agraria sebenarnya dapat dijadikan acuan dalam pemecahan konflik tersebut.

“Pemerintah kan sudah mencanangkan perpres no 86 tahun 2018 tentang reforma agraria. Disitu ada pasal penyelesaian konflik. dua bulan lalu juga sebenarnha ada rapat kabinet terbatas khusus percepatan penyelesaian konflik,” katanya.

Sandrayati juga meminta pemprov untuk mengidentifikasi bukti pengakuan kepemilikan lahan dari kedua pihak.

Dalam sengketa lahan tersebut, Pihak warga Pasuruan diketahui memiliki Letter C atau buku yang menjelaskan hak kepemilikan lahan. Sementara itu, TNI AL juga memiliki sertifikat hak guna bangunan di lahan tersebut.

“Letter C itu catatan atas buku tanah dan dipegang oleh warga, sedangkan TNI AL punya sertifikat hak tanah. Nah ini kok bisa gini, ini seharusnya yang di benahi dan diidentifikasi,” ujar Sandrayati.

Menurut Sandrayati, tipologi serta keragaman pihak dan juga kerumitan dari kasus konflik agraria sangat beragam. Jumlah konflik agraria pun terbilang banyak bermunculan di Indonesia.

Terkait hal tersebut, Sandrayati merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk institusi independen untuk penyelesaian konflik agraria.

Di Pasuruan, berdasarkan catatan yang disampaikan dalam jumpa pers Komnas HAM, akar konflik lahan itu bermula saat pihak TNI AL mengklaim lahan dengan cara merampas paksa tanah warga di bawah todongan senjata pada dekade 1960an.

Persengketaan pun terus berlangsung hingga terjadi kasus penembakan empat petani pada 2007 silam.

Selanjutnya, peristiwa salah tembak di lahan sengketa itu juga pernah terjadi pada 2 Juli 2019.

Sholihah, warga Desa Semedusari, Pasuruan saat itu terluka pada bagian pelipis sebelah kiri yang diduga oleh warga akibat peluru nyasar dari kawasan sengketa yang digunakan TNI AL sebagai Pusat Latihan Tempur.

Sementara itu, TNI AL menyangkal tuntutan warga sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kejadian salah tembak tersebut.

Sandrayati menyatakan bahwa kasus yang terjadi di Pasuruan ini merupakan ketidakberhasilan pemerintah dalam menangani masalah agraria.

“Jadi memang ini kesempatan untuk pemerintah melihat kita punya permasalahan serius, karena ada ribuan permasalahan agraria di Indonesia. Konflik Pasuruan jadi satu contoh dimana kita belum berhasil menanganinya,” kata Sandrayati.

(MK/Nasional)

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *