oleh

Pengusaha “Dunia Hitam” Dibalik Desakan Pembubaran FPI

banner 468x60

Jakarta, monitorkeadilan.com — Ketika kepentingan bisnis harus berhadapan dengan idealisme moralitas, maka “benturan” pun tidak terelakkan. Fenomena ini yang terjadi antara para pengusaha ‘underground’ dengan Front Pembela Islam (FPI). Ketika eksistensi menjadi pertaruhan, maka usaha untuk saling “menghabisi” pun jadi keniscayaan.

Ketua Bantuan Hukum Front Pembela Islam (FPI) Sugito Atmo Prawiro menuding ada kekuatan modal dari pengelola usaha ‘underground‘ atau bawah tanah yang mendorong bubarnya FPI. Sugito menyebut usaha ‘bawah tanah’ ini merujuk pada bisnis dan pemakaian narkoba, pelacuran, perjudian, hingga hiburan malam yang selama ini berseberangan dengan FPI.

banner 336x280

“Kita memaklumi ada banyak kekuatan modal yang mengelola usaha ‘underground’ dan anti pada kiprah FPI. Kelompok ini gusar dengan intensitas kerja FPI yang dianggap mengancam bisnis mereka,” ujar Sugito melalui keterangan tertulis, Kamis (1/8).

Sugito tak menampik banyak pihak yang ingin agar FPI bubar. Terlebih, Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu juga menyatakan kemungkinan pemerintah untuk tak memperpanjang izin FPI sebagai ormas jika memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa, yakni Pancasila.

Pernyataan Jokowi itu dinilai makin selaras dengan jargon ‘Pancasila dan NKRI Harga Mati’ yang kerap diserukan massa pendukung Jokowi dalam Pilpres 2019.

“Seolah massa Islam di luar itu dianggap pendukung khilafah, radikalisme, dan seterusnya. Tentu saja mereka memasukkan FPI di dalamnya,” katanya.

Saat ini pemerintah menurut Sugito tak sulit untuk membubarkan ormas karena ada Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas, yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017. Dengan aturan tersebut, pemerintah dimungkinkan untuk membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan.

Sugito menuturkan pembubaran dapat dimaknai bahwa Kementerian Dalam Negeri mencabut surat keterangan terdaftar dan Kementerian Hukum dan HAM mencabut atau membekukan badan hukum ormas tanpa proses peradilan sebagaimana dimaksud UU Nomor 16 Tahun 2017.

Namun, Sugito mengingatkan bahwa untuk sampai kepada level beleid itu, harus dapat dibuktikan lebih dahulu bahwa ormas tersebut memiliki ideologi selain Pancasila dan terbukti mengganggu ketertiban umum dan keamanan negara.

Dia mengatakan kasus FPI berbeda dengan pembubaran Partai Komunis Indonesia atau Hizbut Tahrir Indonesia.

“Dalam konteks FPI, alasan yuridis apa yang dipergunakan untuk membubarkan FPI? Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah dari mana datangnya desakan keras untuk membubarkan FPI, sebagaimana HTI beberapa waktu lalu? Dua pertanyaan inilah yang belum terjawab,” ujar Sugito.

Faktanya, kata Sugito, FPI hanya perlu melengkapi sejumlah syarat perpanjangan usai masa berlaku izinnya habis pada 20 Juni lalu. Apalagi, secara yuridis, telah ada putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013.

Sugito berkata dalam putusan itu MK menyatakan negara tidak dapat menyatakan suatu ormas sebagai organisasi terlarang dan tidak dapat melarang ormas melakukan kegiatan, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan melawan hukum.

“Dari sini jelas FPI tidak perlu mendaftarkan izinnya, apalagi jika pemerintah tidak memperpanjang izin sebagaimana pernyatan Jokowi. FPI sebagai ormas tetap bisa menjalankan kegiatannya,” ucap Sugito.

Terkait Habib Rizieq Shihab

Menurutnya, desakan bagi FPI untuk bubar tak berbeda jauh dengan kondisi Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab yang kini masih berada di Arab Saudi. Ia menilai pemerintah sengaja membuat kondisi FPI dan Habib Rizieq semakin terpinggirkan karena menolak mengakui kemenangan Jokowi.

“Semua itu memperkuat keyakinan bahwa desakan pembubaran FPI semata terkait alasan politis. HRS dan FPI praktis dikondisikan untuk dipinggirkan,” tuturnya.

Kondisi dipinggirkan ini, lanjut Sugito, makin jelas terlihat karena FPI selama ini dikenal sebagai penopang massa politik pendukung Prabowo-Sandiaga Uno dalam Pilpres 2019.

“Situasi ini yang seolah membuat mereka mendapat angin untuk menyerukan pembubaran FPI dengan alasan dalam anggaran dasar FPI ingin menerapkan syariat Islam di bawah naungan khilafah,” jelasnya.

Ia meminta agar pemerintah dapat mengkaji lebih lanjut keberadaan FPI, alih-alih membubarkan ormas Islam tersebut. Menurutnya, jika pemerintah membubarkan hanya karena alasan tidak suka hal itu akan berpengaruh pada kualitas demokrasi di Indonesia.

“Jika dilakukan hanya atas dasar tidak suka akan berdampak pada pemasungan hak sipil konstitusional warga negara. Ini juga akan menurunkan kualitas demokrasi akibat kebebasan masyarakat untuk berserikat dan berkumpul telah terpasung,” ujar Sugito.

Pemerintah sendiri sampai saat ini belum memperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Ormas FPI. Namun Istana Kepresidenan membantah memberi perlakuan diskriminatif terhadap FPI.

Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani mengatakan setiap ormas termasuk FPI wajib memenuhi beberapa persyaratan untuk mendaftarkan diri atau memperpanjang SKT sebagai Ormas.

Syarat yang mesti dipenuhi di antaranya adalah rekomendasi dari Kementerian Agama untuk Ormas keagamaan serta surat pernyataan tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu.

“Terkait dua hal tersebut, saya rasa publik bisa menilai, apakah ormas tersebut (FPI) menerapkan strategi dakwah yang santun atau justru yang provokatif, apakah ormas tersebut sejalan dengan nilai-nilai Pancasila,” tutur Dani.

“Sehingga bisa dinilai layakkah ormas tersebut mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Agama serta apakah dalam prakteknya ormas tersebut memiliki afiliasi dengan partai politik atau tidak,” katanya melanjutkan.

(MK/Fokus)

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan