Semarang, monitorkeadilan.com — Akhir-akhir ini tiba-tiba dunia dikejutkan oleh berita ‘bahayanya FaceApp’. Padahal sudah lebih dari 100 juta orang mengunduh FaceApp.
Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha menilai Facebook, Instagram, dan Google jauh lebih berbahaya bagi privasi warganet daripada FaceApp, misalnya kasus cambridge analytica yang sempat ramai.
“Namun, untuk meminimalisasi potensi bahayanya, sebaiknya orang-orang penting tidak menggunakan aplikasi ini,” kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) di Semarang, Sabtu.
Ia menyebut di beberapa negara terdapat imbauan khusus kepada para pejabat atau anggota militer untuk tidak menggunakan media sosial dan aplikasi serupa. Bahkan, banyak instansi pemerintah terkait dengan pertahanan yang smartphone-nya tidak dilengkapi kamera sama sekali.
“Hikmah dari peristiwa ini adalah masyarakat jadi mulai mengikuti isu keamanan data pribadi. Bahwa sebenarnya memakai smartphone juga berarti mengekspos privasi kita,” kata Pratama ketika merespons ramainya jagat media sosial dengan unggahan foto perbandingan wajah tua dan muda oleh para warganet.
Wajah tua tersebut terlihat sangat autentik dan mirip dengan wajah asli. Umumnya para pemilik foto menyunting foto mereka menggunakan aplikasi bernama FaceApp.
Namun, di tengah hiruk pikuk penggunaan FaceApp, merebak isu terkait dengan keamanan privasi pengguna. Pasalnya, FaceApp ternyata bisa saja menyebarkan, menyimpan, bahkan menjual foto pengguna untuk tujuan komersial meski foto tersebut telah dihapus.
Tidak hanya itu, menurut para politikus Partai Demokrat di AS, FaceApp akan digunakan sebagai alat untuk mengganggu pemilu presiden di AS pada tahun 2020.
Menurut Pratama Persadha, ada beberapa klausul tentang kepemilikan foto yang dikaitkan dengan keamanan privasi penggunanya.
“Secara umum sebenarnya apa yang dituangkan di dalam ketentuan FaceApp adalah hal yang biasa dan banyak dilakukan aplikasi lainnya. Misalnya, permintaan untuk mengakses kamera ataupun kontak penggunanya,” kata Pratama.
Untuk itu, lanjut Pratama, pengguna harus berhati-hati dan membaca ketentuan-ketentuan yang ada secara menyeluruh sebelum menggunakan aplikasi. Tidak hanya FaceApp, tetapi juga layanan aplikasi lainnya yang akan digunakan. Namun, bagian ketentuan tersebut biasanya diabaikan pengguna dan cenderung buru-buru untuk menyetujuinya.
Dalam konteks ini, lanjut dia, FaceApp adalah aplikasi gratis yang tentunya membutuhkan pemasukan. Salah satunya mungkin dengan menjual foto pengguna untuk tujuan komersial. FaceApp juga sudah memberikan klarifikasi foto yang di-upload ke server mereka berguna untuk proses editing.
“Jadi, memang editing-nya berada di cloud, bukan di smartphone. Itu sebabnya FaceApp harus digunakan dengan koneksi internet. FaceApp hanya mengirimkan foto yang akan diedit ke server mereka,” kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Pratama menyebut peneliti siber asal Prancis Baptiste Robert telah mengecek keamanan “larinya” foto-foto yang di-upload ke FaceApp. Semua foto dikirim ke server FaceApp. Server tersebut bukan di Rusia, melainkan di data center milik Amazon. Hal ini sekaligus menjawab kekhawatiran terhadap penggunaan FaceApp.
Bahkan, FaceApp memberikan fitur khusus bila penggunanya ingin fotonya dihapus permanen dari servernya. FaceApp sendiri selalu menghapus foto setelah 48 jam. Hal ini, kata Pratama, untuk mengurangi beban data center-nya.
“FaceApp juga tidak mengambil foto yang ada di smartphone warganet, seperti isu yang santer diberitakan,” kata dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
(MK/Tekno)
Komentar