BANTUL — Enam poin permufakatan dihasilkan Sarasehan Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya di Bantul, DI Yogyakarta. Selanjutnya hasil itu disebut Permufakatan Yogyakarta.
Sarasehan diikuti para agamawan dan budayawan, digelar selama dua hari sejak Jumat (2/11/18) hingga Sabtu (3/11/18) hari ini. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membuka dan menutup kegiatan ini.
Dalam sarasehan hadir Abdullah Muhaimin, Acep Zamzam Noor, Agus Sunyoto, Agus Noor, Alissa Wahid, Aloyisius Budi Purnomo, Bhante Sri Pannavaro, Fatin Hamama, Jamhari, John Titaley, M Amin Abdullah, M Jadul Maula, Nasirun, Pandita Mpu Jaya Prema, Purwosantoso, Radhar Panca Dahana, Ridwan Saidi, Sudjiwo Agus Hadi (Sudjiwo Tedjo), Wahyu Muryadi, Wisnu Bawa Tenaya, dan Zakiyuddin Baidlawi.
Menteri Agama mengatakan berkomitmen untuk merancang kegiatan sejenis di berbagai provinsi dengan melibatkan tokoh agama dan budaya sehingga pemikiran agamawan dan budayawan bisa terdesiminasi dengan baik.
Berikut ini rumusan Permufakatan Yogyakarta :
PERMUFAKATAN YOGYAKARTA
AGAMAWAN DAN BUDAYAWAN
Meskipun terakui kenyataan mutakhir kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia mengalami guncangan akibat perkembangan tak terduga di tingkat global sehingga menciptakan banyak perubahan, – yang bahkan fundamental di tingkat lokal atau sampai pada soal eksistensial atau kejelasan jati diri – kita sebagai pemilik sah keberadaan serta kedaulatan Indonesia tetaplah optimistis mampu menjawab secara adekuat semua persoalan dan tantangan yang muncul sebagai akibat di atas. Kitapun percaya, melalui pendidikan yang disempurnakan secara berkelanjutan, kita akan meraih masa depan yang cerah melalui generasi-generasi baru yang (harus) menjadi bonus demografi yang tercerahkan.
Hal tersebut tidak akan dapat tercapai bila kita bersama, baik sebagai individu, bangsa, maupun negara tidak melakukan koreksi – besar dan kecil – dan tidak menciptakan perubahan yang signifikan di semua level/dimensinya: cara berfikir, merasa, bersikap atau bertindak, baik dalam dimensi akal, fisikal, mental hingga spiritual.
Kami bermufakat perubahan-perubahan tersebut antara lain harus terjadi pada:
1. Kalangan agamawan dan budayawan dalam memahami dan mengatasi disrupsi yang terjadi dalam dirinya sendiri sehingga mengganggu bahkan merusak bukan saja iman (keyakinan) umatnya, tapi juga hubungan idealnya dengan kenyataan sosial serta kultural lokal di mana ia berada;
2. Penghayatan serta pengamalan praktik-praktik keagamaan di seluruh sudut negeri ini yang terbukti dalam sejarah yang panjang terintegrasi secara positif, konstruktif, dan produktif dengan praktik-praktik kebudayaan di setiap satuan etnik yang dimiliki bangsa Indonesia;
3. Pendidikan, baik umum maupun agama, formal maupun non formal, dengan memahami dan melanjutkan secara lebih adekuat praksis dan makna pengajaran dalam dunia tradisi, termasuk kemampuan alamiahnya dalam mengakselerasi perkembangan zaman, bagaimanapun radikalnya, dengan antara lain:
I. Memosisikan kembali orang tua dalam peran sebagai guru yang paling mula dan mulia dalam proses pengajaran anak-anak Indonesia;
II. Mengedepankan pengajaran akhlak dan yang berbasis pada pencerahan kalbu sebelum hal-hal lainnya, mulai dari tahap pendidikan dini hingga tingkat menengah, dengan menggunakan model-model yang menjadi panutan/keteladanan melalui pelbagai produk kebudayaan, antara lain kesenian, seperti: sastra, teater, tari, rupa sebagai tradisi yang masih hidup, juga adat istiadat yang mengintegrasikan dunia religius dan tradisional sebagaimana dipelihara keraton-keraton di seluruh nusantara;
III. Terus memperbaiki dan mengembangkan bahasa agama dan budaya yang mampu menghindarkan dirinya dari diksi, semantika atau retorika yang jumud, intoleran, teologi yang berpihak, atau ideologi yang bertentangan dengan kenyataan aktual, faktual, juga historis bangsa;
IV. Mengatasi secara keras dan tegas mental rendah diri para anak didik dengan contoh-contoh faktual tentang kenyataan-kenyataan keunggulan manusia Indonesia beserta produk-produk kulturalnya;
V. Menanamkan pemahaman dan praktik hidup sedalam-dalamnya bahwa agama (dengan segala pemahaman dan ibadahnya) bukanlah berarti segalanya, dalam arti manusia sudah selesai hanya dengan agama dan menafikan dimensi-dimensi hidup lainnya yang sesungguhnya setara peran dan fungsinya yang konstitutif.
4. Sikap dan perilaku kita, sebagai manusia, kelompok, juga sebuah bangsa, tetap kuat dilandasi oleh nilai-nilai luhur sebagaimana telah dipraktikkan oleh leluhur bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari di setiap etniknya, seperti antara lain:
a. Jujur
b. Sabar
c. Bersyukur (berterimakasih pada semua makhluk)
d. Berkesetaraan
e. Berbhineka (pluralis dan multikulturalis) plus wawasan kebangsaan
f. Bergotong-royong
g. Disiplin dan bertanggung jawab
h. Mandiri
i. Saling mengasihi
j. Santun (dalam berpolitik, bertutur, bersikap dan berperilaku)
k. Menerima yang menjadi haknya, bukan sebaliknya
l. Mengedepankan “laku” (praktik dalam foot print, bukan hanya kognisi dalam bentuk footnote)
m. Keterbukaan (open minded)
5. Negara, cq. pemerintah, dalam hal ini tidak hanya berperan dalam memelihara, melayani atau memfasilitasi saja, tapi juga selain terus mengoreksi kekeliruannya, bahkan hingga tingkat sistemik, juga menjadi inisiator dari perubahan-perubahan di semua level/dimensinya, termasuk misalnya menciptakan sebuah narasi yang dapat dan menjadi pijakan bersama (common ground) mulai dari soal siapa, dari mana bermula, hingga akan ke mana Bangsa Indonesia.
6. Mendorong praktik kehidupan beragama untuk melahirkan iman yang membuahkan kesalehan spiritual dan kesalehan sosial.
Mufakat ini tentu akan tidak berarti apa-apa, bila tidak semua pihak berusaha untuk melaksanakannya, di mana karena itu, lembaga-lembaga utama, seperti organisasi agama, komunitas budaya, pemerintah hingga satuan-satuan informal mengimperasi secara kuat (menegaskan dengan tegas) dirinya sendiri untuk melakukan perubahan bahkan revolusi di dalam diri selaras dengan apa yang menjadi isi dari mufakat ini.
Semoga Tuhan yang Mahakuasa dan doa serta harapan leluhur yang mulia memberkati kita dan seluruh upaya baik kita ini.
Yogyakarta, 3 November 2018
(tanda tangan peserta sarasehan)
(kn)
Komentar