MONITORKEADILAN.COM, JAKARTA — Para pengusaha kapal yang tergabung dalam Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional (Indonesian National Shipowners Association), melayangkan surat ke empat menteri terkait. Surat tersebut diketahui berisikan masukan dan permohonan penundaan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) B20.
Ada sembilan poin penting yang disampaikan DPP INSA dalam surat itu. Pada intinya, dari kesembilan poin itu, DPP INSA menyimpulkan, karakter biodiesel B20 dapat berpengaruh pada keselamatan kapal bila digunakan pada marine, antara lain dikarenakan kualitas biodiesel yang tidak konsisten.
“DPP INSA perlu memberikan masukan kepada pemerintah untuk menjadi bahan pertimbangan dalam pemakaian B20 pada industri pelayaran khususnya,” tulis DPP INSA dalam surat yang ditandatangani Ketua Umum DPP INSA, Carmelita Hartoto itu.
Surat bertanggal 11 Oktober 2018 itu ditujukan DPP INSA kepada Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.
Selain itu, menurut INSA, hal tersebut juga dikarenakan belum adanya marine standard SNI/ASTM/JIS/ISO untuk bio diesel atau B20, serta adanya pengaruh solvent yang dapat merusak pada seal dan gasket kapal, yang dapat berakibat dispute pada garansi pabrik dan asuransi kapal pada umumnya.
Dalam surat itu, INSA menyatakan juga testimoni dari Royal Navy Kerjaaan Inggris, NATO, dan Instansi Militer Amerika Serikat. Testimoni tersebut secara garis besar menunjang masukan dan permohan penundaan penggunaan B20 untuk kapal yang dikemukakan INSA.
Berdasarkan masukan tersebut, INSA memberikan enam poin rekomendasi kepada pemerintah. Di antaranya INSA menyarakan pemakaian B20 dapat dilanjutkan pada kapal bangunan baru yang permesinannya sudah dipersiapkan untuk menggunakan BBM B20.
Selain itu, produsen B20 disarankan untuk melakukan riset agar dapat menghasilkan biodiesel yang cocok dengan HSD yang tidak mengakibatkan biaya tinggi, serta melakukan analisa efek biodiesel B20 terhadap saluran BBM yang menggunakan copper atau coppernickel.
INSA juga menyarankan pemerintah agar mensyaratkan pihak asuransi dan pabrik mesin untuk menanggung kerusakan mesin yang diakibatkan oleh penggunaan B20.
Semua produser B20 wajib analisa masukan ini dan memberikan standar B20 untuk marine used baik dari ASTIM/JIS/ISO ataupun ISO. Dengan belum tersedianya respon dari data-data di atas dan untuk mencegah kejadian yang dapat menimbulkan kecelakaan kapal di laut karena penggunaan B20. ‘’Dengan ini kami dari asosiasi pengusaha pelayaran DPP INSA dengan sangat mengharapkan pemerintah untuk menunda pemakaian B20 khususnya pada industri pelayaran sampai dengan adanya hasil analisa,” tegas Carmelita.
Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman mengatakan, Program B20 tanpa kajian tehnis yang matang, terlalu dipaksakan dan sudah ada penolakan dari berbagai industri. “Apakah ini dapat dikatakan kebijakan blunder? Pemerintah oleh Kementerian ESDM dalam menerapkan kebijakan ini terkesan panik akibat defisit transaksi berjalan dalam neraca keuangan negara, ternyata dari sektor migas telah menyumbang angka paling tinggi akibat beban impor minyak mentah dan BBM setiap harinya sudah mencapai sekitar 850 ribu barel per hari,” tegasnya.
Faktanya, pemaksaan penggunaan konsep B20 justru akan melemahkan daya saing kita, termasuk biaya industri dan biaya logistik. Selain itu, kata Yusri, langkah tergesa-gesa Pemerintah menggunakan B20 berimplikasi luas bagi konsumen kendaraan besar berkapasitas di atas 2500 CC. Seperti bus, alat-alat berat, dan kapal, yang menurut petunjuk dealer harus menggunakan standar BBM sesuai buku petunjuk yang dikeluarkan dari pabrik masing-masing kendaraan bermesin diesel.
Di sisi lain, Pertamina berpotensi akan ketimpa beban, banyak digugat oleh konsumen Biosolar yang berkualitas buruk berakibat rusaknya mesin kendaraan. Selain juga terhadap ekses kelebihan produk solar reguler dari kilang sebanyak 20% yang terpaksa dijual Pertamina di bawah harga pasar.
Komentar