MONITORKEADILAN.COM, JAKARTA — Merosotnya nilai rupiah tidak layak dijadikan komoditas politik. “Indonesia adalah rumah kita bersama. Tidak ada yang diuntungkan kalau rumah kita runtuh,” papar Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden Denni Purbasari.
Pekan lalu rupiah sempat menyentuh Rp 15.000/USD, namun menurut Denni hal itu tidak dapat disamakan dengan krisis moneter tahun 1998. Pemerintah bersama BI dan OJK saat ini telah memiliki pengalaman berupa akumulasi pengetahuan sehingga memiliki kemampuan mencegah krisis keuangan.
Pada program talkshow akhir pekan ‘Polemik’ MNC Trijaya FM dengan topik ‘Jurus Jitu Jagain Rupiah’ di Jakarta, Denni menegaskan pada 1998 Indonesia menganut rezim kurs tetap dengan nilai yang tidak realistis sehingga depresiasi rupiah mencapai 350 persen. “Apa yang terjadi sekarang tidak sama dengan 1998. Kita menganut kurs mengambang dan depresiasi terjadi secara gradual. Selain itu, saya tegaskan kondisi ekonomi Indonesia tidak sama seperti Turki dan Argentina,” tegas doktor ekonomi lulusan University of Colorado at Boulder ini.
Akademisi Universitas Gajah Mada Yogyakarta itu juga memaparkan, situasi ekonomi di Indonesia dalam pekan terakhir sebagian besar disebabkan adanya sentimen negatif pelaku pasar terhadap apa yang terjadi pada Argentina dan sebelumnya lagi di Turki.
Denni tak memungkiri bahwa kondisi rupiah ini juga tidak terlepas dari persoalan domestik, yaitu defisit neraca transaksi berjalan. Namun ini persoalan lama, yang berakar dari kurang unggulnya produktivitas negara memproduksi barang dan jasa jika dibandingkan dengan negara lain. “Produktivitas yang rendah menyebabkan daya saing kita rendah dan ekspor tidak tumbuh cepat dibandingkan impor,” urainya.
Untuk menyelesaikan persoalan ini pemerintah pun memiliki beberapa kebijakan, di antaranya menurunkan defisit fiskal, memberlakukan B20, menjadwalkan ulang beberapa proyek infrastruktur yang belum dibangun, serta menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 untuk 1.147 barang konsumsi impor seperti sabun, shampoo, kosmetik, hingga lemari es. Hal ini dilakukan untuk memperlambat pertumbuhan impor barang konsumsi dan mendorong produksi domestik.
Dalam acara yang dipandu Margi Syarif itu, juga dihadirkan narasumber Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional Arief Budimanta, ekonom INDEF Bhima Yudistira, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta, Praktisi Pasar Modal Lucky Bayu Purnomo dan pengamat ekonomi Yanuar Rizky. (kn)
Komentar